Dr. Maslihati Nur Hidayati Prodi Hukum UAI
Depok, Suaranusantara.com – Dengan disahkannya RKUHP menjadi KUHP oleh DPR pada tanggal 6 Desember 2022, artinya Indonesia telah mamasuki babak baru. KUHP nasional yang merupakan cita-cita founding fathers sebagai upaya untuk dekolonisasi hukum untuk melepaskan diri dari sistem hukum warisan kolonial.
Pengesahan KUHP Nasional merupakan bentuk konkrit untuk mewujudkan keinginan luhur bangsa Indonesia terbebas dari belenggu hukum kolonial, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.
Proses pengesahan menjadi KUHP sendiri membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pembahasan RUU KUHP Nasional yang pertama kali dibahas pada Seminar Hukum Nasional puluhan tahun lalu, tepatnya tahun 1963 di Semarang, ini menjadikan RUU yang paling lama dibahas.
Selain dekolonsasi hukum, yang menjadi misi utama penyusunan KUHP Nasional ini ialah adanya demokratisasi, konsolidasi dan adaptasi hukum pidana, serta harmonisasi terhadap perkembangan hukum.
Tinjauan Terhadap Pasal RKUHP
KUHP baru yang terdiri dari 624 pasal lengkap dengan penjelasannya ini telah mengakomodasi model pemidanaan yang jauh lebih baik daripada KUHP versi kolonial Belanda saat ini. Pasal 51 dan 52 RKUHP baru ini telah merumuskan tujuan pemidanaan yang lebih humanis. Selain juga terdapat pedoman penjatuhan pidana dalam Pasal 53 hingga 56 yang mewajibkan hakim berlaku adil.
Rumusan double track system, yakni sistem sanksi dua jalur yang tidak hanya sanksi pidana (Pasal 64–102) tapi juga sanksi tindakan (Pasal 103–111), juga tegas di atur. Yang menarik, terdapat pula rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 118–124 yang sebelumnya tidak ada.
Namun demikian, sayangnya beberapa pasal kontroversial peninggalan kolonial Belanda yang represif dan mengancam demokrasi tetap dipertahankan.
Bahkan beberapa semakin berat pemidanaannya. Ini misalnya dapat dibaca dalam pengaturan Lese Majeste pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, pengaturan Haatzaai Artikelen dalam Pasal 240 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara yang seharusnya tidak perlu diatur karena secara prinsip pasal penghinaan ditujukan untuk korban perseorangan, bukan lembaga/institusi negara.
Hal ini tidak perlu diatur agar tidak memberikan peluang pemidanaan warga negara yang melakukan kritik kepada pemerintah. Masih ada waktu tiga tahun sebelum KUHP ini diberlakukan untuk melakukan evaluasi dan mencabut pasal-pasal yang bermasalah tersebut, baik melalui jalur pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi maupun jalur lainnya yang dianggap efektif.(Red/SN)