Ruteng, Suaranusantara.co – Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) resmi disahkan menjadi UU TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
UU TNI Nomor 34 tahun 2024 tersebut disahkan dalam Rapat Paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
RUU TNI yang dibahas pemerintah bersama DPR ini mengubah beberapa pasal mengenai tugas dan kewenangan pokok TNI, termasuk usia pensiun hingga keterlibatan TNI aktif dalam kementerian/lembaga.
Sebelum disahkan, UU TNI tersebut sempat menuai sorotan karena sejumlah pasal yang dianggap kontroversial termasuk pengaturan prajurit aktif bisa mengisi jabatan sipil.
Berikut beberapa pasal kontroversi dalam UU tersebut:
Pasal 7 Ayat 2 terkait Operasi Non-Militer.
Pemerintah menambah tiga tugas militer TNI selain perang. Tugas militer yang sebelumnya berjumlah 14, kini menjadi 17 tugas.
Tugas tambahan tersebut diantaranya TNI memiliki tugas untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber ; TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri ; dan TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika.
Pasal 47 terkait Penempatan TNI di Instansi Sipil
Pemerintah mengusulkan penambahan posisi sipil yang bisa diduduki TNI dari 10 menjadi 16.
Penambahan peran TNI dalam pengamanan laut (Bakamla), penanganan bencana (BNPB), penanganan terorisme (BNPT), kelautan dan perikanan, Kejaksaan Agung, dan pengelolaan perbatasan (BNPP).
Sementara, di luar posisi tersebut, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil lain setelah mundur dari dinas keprajuritan.
Pasal 53 terkait Batas Usia Pensiun
RUU TNI mengubah batas usia pensiun berdasarkan pangkat. Dalam UU saat ini, batas usia pensiun dibagi menjadi dua klaster, yakni 58 bagi perwira dan 53 bagi tamtama dan bintara.
Sementara, dalam RUU TNI berdasarkan naskah per 15 Maret, batas usia pensiun dirinci kembali berdasarkan pangkat.
Rinciannya Bintara dan Tamtama paling tinggi 55 tahun; Perwira sampai dengan pangkat Kolonel paling tinggi 58 tahun; Perwira tinggi bintang 1 paling tinggi 60 tahun; Perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun dan Perwira tinggi bintang 3 (tiga) paling tinggi 62 tahun.
Di luar itu, ada beberapa pengecualian lain terkait usia kedinasan.
Khusus bagi Prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan masa dinas keprajuritan yang ditetapkan dengan peraturan perundang – undangan.
Pengecualian lain, untuk perwira tinggi bintang 4 atau jenderal, batas usia pensiun paling tinggi, yakni umur 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pro dan Kontra UU TNI
UU TNI sempat mendapatkan penolakan keras dari publik karena dianggap menghidupkan kembali wacana dwifungsi ABRI yang sudah dihapus setelah reformasi 1998.
Dilansir dari CNNINDONESIA, penolakan terhadap UU tersebut datang dari berbagai organisasi masyarakat (ormas), akademisi, hingga perguruan tinggi.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid meminta RUU TNI batal disahkan karena dinilai tak memiliki urgensi pembahasan.
Alissa mengatakan dalam draf RUU TNI terlihat menjauhkan TNI dari semangat profesionalitas sebagai prajurit.
Ia juga mempertanyakan iktikad DPR dan pemerintah sehingga RUU TNI ini harus mempercepat pengesahan RUU tersebut.
Alissa berkaca Indonesia punya pengalaman pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker) dibahas secara terburu-buru dan minum partisipasi. Hasilnya, sambungnya, implementasi UU tersebut amburadul hingga saat ini.
“Jadi kalau kami tentu permintaannya dibatalkan, bukan ditunda,” kata Alissa dalam keterangan pers, Selasa (18/3/2025).
Suara penolakan juga datang dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).
Kedua kampus tersebut mengkritik pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru serta mengabaikan suara publik.
Rektor UII Fathul Wahid merasa perlu melakukan penolakan terhadap RUU TNI. Ia menjelaskan RUU TNI berpotensi dapat menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Fathul mengatakan Indonesia memiliki sejarah kelam ketika dwifungsi ABRI masih berjalan di zaman Orde Baru. Baginya, sejarah kelam Indonesia tersebut jangan sampai terulang kembali.
Ia mengatakan potensi diterapkannya lagi dwifungsi TNI jika RUU TNI disahkan akan melemahkan supremasi sipil hingga potensi pelanggaran HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), juga menolak RUU TNI.
Salah satu yang paling disorot ialah Pasal 47 ayat 2 yang mengatur perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif TNI.
Komnas HAM mencatat ada perubahan yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan pada belasan lembaga sipil.
Ia mengatakan presiden juga berpotensi menambah ruang penempatan prajurit TNI aktif di lembaga atau kementerian lainnya.
“Perubahan Pasal 47 ayat 2 berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi,” ujar Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah dalam konferensi pers, Rabu (19/3/2025).
Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoedin menegaskan tidak ada wajib militer dalam RUU TNI yang sudah disahkan menjadi UU. Dia juga memastikan tidak ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI.
Sjafrie menambahkan, tidak ada prajurit aktif yang dapat mengisi jabatan di luar 14 kementerian/lembaga yang telah diatur di UU TNI. Dia meminta masyarakat tak khawatir anggota TNI aktif mengisi jabatan di BUMN.
“Tidak ada (prajurit aktif di Agrinas BUMN), semua, mulai Bulog, semua purnawirawan, jadi tenang saja ya. Nggak usah khawatirlah,” tutup Sjafrie.
Penulis: Patris Agat