Oleh: Luluk Mutmainnah, Alih Jenjang Akuntansi, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co -Qardh secara etimologis memiliki arti Al-Qhot’u (potongan). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qard) dinamakan qard, sebab merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar).
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanifah sebagai berikut:
“Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya”.
Landasan Hukum Qardh
Surah Al-Hadid (57) ayat 11
مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّّ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضََٰعِفَه لَه وَلَ ه أَجۡ ٞ ر كَرِي ٞ م
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qardh (memberikan hutang) kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah. Dari sisi muqtaridh (orangyang memberikan hutang), Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara member hutang. Hutang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang dihutanginya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ia akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.