Sukabumi, Suaranusantara.co – Ini memang bukan cerita baru. Tetapi masih patut di baca untuk memuaskan dahaga akan rekreasi pada masa pandemi dan libur lebaran seperti ini. Sebab hampir semua tempat wisata belum beroperasi optimal. Bahkan ada yang masih tutup.
Ceritanya, kami mau mengisi waktu liburan sekolah anak-anak pada 2019. Syaratnya harus sesui anggaran yang cekak alias terjangkau. Maka kami pilih melipir ke Bogor saja. Mula-mula ke Taman Safari. Setelah seharian melihat berbagai jenis hewan, kami pulang dan menginap di sebuah hotel di kota hujan itu.
Keesokan harinya kami hendak kembali ke Jakarta. Tiba-tiba di tengah jalan, muncul ide. Melanjutkan perjalanan ke Sukabumi. Maka meluncurlah ke sana sekaligus mencicipi tol Bogor-Sukabumi yang belum lama diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perjalanan ke sana cukup santai dan tidak macet.
Sejak putuskan ke Sukabumi, tujuan kami adalah tempat wisata Situ Gunung. Di sana ada tiga tempat yang perlu dilihat. Situ Gunung, Jembatan Gantung, dan curug atau air terjun. Karena baru pertama, kami mengikuti saja panduan Googlemap.
Perjalanan tidak terlalu sulit. Jalannya lempeng. Sempat diarahkan lewat jalan tikus sebelum sampai di Kota Sukabumi. Dari sana ke Situ Gunung tidak sukar. Tinggal lurus-lurus saja. Sebelum sampai, kami sempat mampir makan siang di warung makan lesehan pinggir jalan. Lokasinya cukup bagus. Makanannya juga lumayan enak.
Wisata Jembatan Gantung
Setelah kenyang, melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Sampai di sana sudah siang. Seusai memarkir kendaraan, kami menuju loket pembayaran. Kami memilih langsung ke Jembatan Gantung. Bayarannya Rp 50.000 per orang.
Dari loket ini, wisatawan berjalan kaki di bawah naungan pohon-pohon tinggi Gunung Pangrango. Tidak jauh. Di ujung sana, pengunjung akan masuk ke tempat peristirahatan yang dibuat seperti “stadion”. Tempat duduknya berundak-undak.
Orang yang hendak ke Jembatan Gantung Sukabumi atau pulang dari sana bisa beristirahat di sini. Sambil menikmati cuaca dingin yang menyegarkan jiwa. Untuk yang baru akan ke Jembatan Gantung, mereka disuguhi kopi, teh, dan pisang rebus. Singkong juga ada. Nikmat dan tidak perlu bayar lagi.
Ini menjadi “bekal” sebelum melewati Jembatan Gantung serta turun dan kembali dari curug. Apalagi ke curug, butuh tenaga ekstra untuk mereka yang tidak terbiasa di medan berat. Setelah berjalan beberapa puluh meter, sampailah kami di ujung Jembatan Gantung. Setiap pengunjung dikasih safety belt yang harus diikatkan pada pinggang. Semua harus pakai barang itu kalau mau “berjalan di atas awan”.
Saat itu tidak terlalu ramai. Tergolong sepi untuk ukuran liburan sekolah. Kami berempat (istri dan dua anak) sempat sama-sama start dari titik awal. Namun baru jalan beberapa meter, saya sudah gemetaran. Takut. O iya, saya punya sedikit fobia ketinggian. Sehingga saya mundur dan membatalkan diri menjajal jembatan gantung yang disebut-sebut sebagai yang terpanjang di Asia Tenggara.
Tantangan
“Saya tunggu di sini,” kata saya. Saya pun hanya melihat mereka dari jauh. Di tengah jalan, mereka masih sempat berfoto ria. Bahkan sesekali, kedua anak saya meledek atas ketakutan saya. “Papi cemen,” kata mereka dua sambil tertawa puas.

Saya panas. Emosi tersulut. Dalam hati bergumam, “Masa saya kalah dengan dua anak kecil itu.” Saya lihat mereka sudah jauh dan hampir berada di ujung sebelah sana.
Dari arah sana, saya juga meyaksikan seorang petugas memikul safety belt berjalan dengan begitu santai. Tanpa ada rasa takut sedikit pun. Tiba-tiba muncul tekad dalam hati. “Saya harus melawan rasa takut ini.”
Setelah mengumpulkan keberanian, saya jalan. Pelan dan sangat hati-hati. Kadang pengen duduk terutama saat jembatan bergoyang karena ada pengunjung lain melintas. Takutnya bukan main. Rasa takut semakin menjadi ketika melihat ke bawah. Jurang sedalam 200 meter. Pucuk pohon tertinggi saja masih jauh di bawah jembatan. Artinya kalau tali jembatan putus maka nyawa akan hilang. Begitu pikiran melintas sesaat. Seremnya minta ampun.
Kaki terus melangkah. Rasa takut masih mendera. Setelah langkah demi langkah, akhirnya sampai juga di ujung. Di sana istri dan anak-anak sudah menunggu. Mereka terbahak melihat saya sukses melawan rasa takut melintasi jembatan itu. Saya berteriak sekencang-kencangnya melepas ketegangan. Orang-orang melihat. “Bodoh amat,” ucap saya dalam hati.