Bali, Suaranusantara.co – Upacara Adat Mekotek awalnya merupakan tradisi Kerajaan Mengwi, salah satu kerajaan di Bali. Pemerintah kolonial Belanda sempat melarang tradisi ini. Namun kemudian masyarakat kembali menghidupkannya sebagai ritual adat tolak bala dari serangan wabah penyakit.
Kini Mekotek menjadi tradisi adat Desa Munggu, Mengwi, Badung, di Bali tempat berdirinya Kerajaan Mengwi yang eksis pada abad ke-18. Ketika itu mereka sempat berperang dengan Kerajaan Blambangan yang berpusat di Banyuwangi, Jawa Timur.
Warga masyarakat melaksanakan Upacara Adat Mekotek setiap 6 bulan sekali berdasarkan penanggalan Hindu, tepatnya pada Sabtu Kliwon di Hari Raya Kuningan atau setelah Hari Raya Galungan.

Pelaksanaan Tradisi Mekotek
Pada pelaksanaannya, 2.000 peserta, berusia 12 hingga 60 tahun mengikuti upcara ini. Mereka membawa tongkat kayu yang merupakan pengganti tombak. masing-masing kelompok terdiri dari 50 orang.
Kelompok-kelompok ini memainkan kayu dan saling adu ke atas sampai membentuk kerucut atau piramida. Sesekali, ada peserta yang naik ke puncak piramida kayu untuk memberikan semangat bagi kelompoknya. Musik gamelan mengiringi mereka selama atraksi ini berlangsung.
Dulunya, tradisi Mekotek bertujuan untuk menyambut prajurit Kerajaan Mengwi yang pulang dengan membawa kemenangan atas Kerajaan Blambangan di Banyuwangi. Aslinya, perayaan Mekotek menggunakan besi atau tombak yang menjadi senjata para prajurit Mengwi ketika menaklukkan Blambangan.
Karena alasan keamanan, sekarang tradisi ini menggunakan tongkat kayu sepanjang 3 sampai 5 meter. Para peserta wajib mengenakan pakaian adat madya, yaitu kancut dan udeng batik.
Kini, masyarakat setempat melestarikan Mekotek sebagai tradisi leluhur dan ritual tolak bala bagi warga Desa Munggu. Keunikan pelaksanaan upacara adat ini hingga sekarang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara.