Suaranusantara.co –Pada perjamuan malam, pria paruh baya itu duduk sendiri di dapur sambil membaca buku, seperti biasanya, ia kerap kali menghabiskan waktu dengan membaca buku di kala waktu kosong.
Lelaki tersebut bernama Wayne. Seorang lelaki sederhana berasal dari kampung yang cukup jauh di sudut Indonesia bagian timur.
Ia tertidur lelap, membayangkan masa depan dan khayalannya menjadi seorang penulis. Ia menghabiskan waktu terus membaca, bahkan kadang ia sendiri tak pernah mengerti secara totalitas apa yang telah ia baca.
Salah satu buku yang ia suka adalah, ”Malaikat Intuisi”.Buku tersebut ditulis oleh seorang penyair jalanan bernama Franklin. Franklin menulis kisah tersebut penuh penghayatan, karena itu adalah kisah nyata perjalanan kehidupan pribadinya.
Pada lembar pertama, ia membaca dan mengikuti alur kisahnya, ia cukup terharu dengan perjuangan seorang lelaki dalam buku tersebut.
Beginilah kisah cerita buku itu.
Pagi-pagi buta aku terbangun karena ibuku membangunkanku dari ranjang. Aku bermimpi bertemu Tuhan.
Dia berkata kepadaku, “Akan kukirimkan seseorang untuk menolongmu.”
Aku sangat penasaran dengan malaikat yang akan dikirim Tuhan tersebut.
Lalu keesokan harinya aku pergi ke sebuah gereja dekat rumahku. Nama Gereja itu adalah Santo Patrisius.
Aku bertemu banyak orang disana.
“Sepertinya mereka adalah komunitas orang muda”, kataku penasaran melihat mereka sedang asyik berdiskusi di bawah pohon Beringin tua.
Aku berjalan pelan menuju pohon Beringin tua itu.
Karena penasaran aku bertanya kepada salah satu pria di situ,”Bolehkan saya bergabung?”
Ia menjawab,”Sangat boleh sahabatku. Ayo bergabunglah dengan kita!”
Semua orang ramah dan santun, saya pun betah dan menjalani aktivitas bersama mereka. Dari waktu ke waktu kita menjadi sangat akrab.
Pada bulan Desember, seperti biasanya Gereja Santo Patrisius selalu ramai saat momen Natal berlangsung.
Tibalah suatu ketika seorang wanita datang ikut bergabung dalam komunitas tersebut. Anggun, mempesona, senyumnya pun masih terbayang hingga malam saat aku tertidur pulas.
Sebelum aku beranjak tidur, aku berdoa kepada Tuannya Semesta, “Haruskah aku menempatkan seorang anak manusia menjadi Malaikat, Tuhan?”
“God, I know that is really crazy. Aku menulis surat untukmu malam ini, ‘kepada pemilik semesta, sudah sekian lamanya, aku tertidur di planet ciptaan-Mu, izinkan aku ditemani seorang Malaikat.”
Usai doaku berakhir, aku bermimpi lagi, bertemu Tuhan.
Dia berkata kepadaku dalam mimpi itu, “Sahabatku, esok malaikat itu akan dikirimkan di Gereja Santo Patrisius tepat di sekitar jam empat sore. Engkau akan bertemu dengannya.”
Sibuk di gereja, iya !
Keesokan harinya, aku pergi ke Gereja Santo Patrisius. Dalam waktu perjalananku mencari jejak Tuhan, semua millennials melangkahkan iman dan aksinya tergambar di setiap rotasi waktu.
Alkisah seorang bernama Emily, dalam riwayat album kenangan! Sore menyinari Gereja Sainto Patrisius.
Tak seperti biasanya seseorang datang dan pergi, tapi kali ini berbeda, ia datang dan menetap di hati.
Siapapun dia, dan apapun imajinasiku bermain di teras pastoran, tapi yang pasti senyuman tipis darinya adalah jawaban surat kirimanku kepada Tuannya Semesta.
Sunset menerangi Gereja Santo Patrisius, cukup membuat seimbang antara hujan dan rindu.
Awal Desember 2025, harinya pun saya agak sedikit lupa.
Waktu itu sekitar pukul. 16.00 Wita, aku menatapnya cukup lama, dari jauh merekam cara ia berjalan dan ia bicara.
“Ternyata suaranya cukup lembut, padahal.”
Aku mengamati setiap isi jumlah kata yang ia sampaikan, benar-benar sedikit, hanya kepada sahabatnya. Dia sendiri jarang tersenyum, hanya senyum jika mau senyum, jika tidak, ia hanya melihat.
Dunia begitu cepat berubah,
Ia pergi meninggalkan senyumnya dalam lembaran kenangan di laman IG-nya. Cerita tentang mengapa aku menulis ini, karena aku menyukai pikiranku tersampaikan melalui tulisan, agar aku dibaca, dikenang, dan mungkin ditinggalkan karena kurang bermanfaat.
Bagi saya, ia seperti Malaikat kiriman Tuhan di Natal 2025 guna untuk menyegarkan pikiran saya dari polusi dan debu jalanan.
Bahkan sekarang saya sedang focus menyukainya.
“Seorang Emily! Namamu telah kutuliskan pada buku diary.”
Untuk kamu yang tidak tahu atau pun berpura-pura tidak tahu tentang perasaan tersebut.
Hingga nanti, ketika engkau membaca tulisan ini. Engkau tarik nafas dalam-dalam dan berkata, ‘dasar idiot’, karena saking jengkelnya.
Kamu tahu, saya akan berubah menjadi transformers layaknya penyelamat impianmu.
Aku menulis tentangmu, bahkan metaforis intuisi terngiang di kepala every single days.
Yah, mungkin karena keseringan merenung nama dan wajahmu. Bicara tentang kamu dan bintang jelas sangat berbeda. Bintang jauh, sedang kamu dekat di hati.
Namamu kusebut di setiap isi teriakku kepada Tuhan. Andai ia tahu, aku telah berhasil mencintai Emily sejak ada dalam pikiran meski alam realitas jelas belum ada jawaban.
Alam pikiranku terpetakan tentang bagaimana aku mencintaimu, menghabiskan waktu bersamamu.
Sedangkan alam realitas, sesuatu keadaan yang tidak seperti apa yang ada sejak dalam pikiran.
Bahkan ketika aku mengirimimu pesan,“Sudilah kiranya, kita menjadi sepasang kekasih?”
Engkau hanya menjawab,“Maaf seberapapun besar niatmu, aku tetap akan tidak bisa bersamamu.”
Usai membaca buku itu, Wayne jadi paham tentang ‘Malaikat Intuisi’ itu sebenarnya tentang seseorang yang mampu menghidupkan alam imajinasinya, hingga menjadikan ia seorang penulis.
Wayne pun akhirnya merenung dan bertanya, “Sejauh ini apakah saya memiliki malaikat intuisi itu?” *****
.