Penulis: Dr. Heriyono Tardjono, Pengajar Pasca Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia & Pengasuh Aksara Pinggir; dan Anna Saraswati, Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Saat saya berkesempatan mengunjungi Frankfurt, saya bergegas membeli tiket kereta bawah tanah. Akhir pekan itu saya ingin ke Römerberg, sebuah kota tua yang paling terkenal di Frankfurt am Main. Römerberg adalah ‘rumah’ Dewi Keadilan, Lady Justitia, yang saya ingin lihat lebih dekat. Saat tiba di tujuan, saya melepas lelah di sebuah kafe di seberang Balaikota.
“Komm’ Sie am ersten Mal hier? Wie ist die Stadt?” sapa Kellnerin dengan sopan, yang terjemahan bebasnya kira-kira “Apakah Anda baru pertama kali mengunjungi kota ini? Bagaimana menurut Anda?”, sambil tersenyum.
“Ja, ganz interresant! Ich hab’ darüber gelesen, aber es ist zu kurz,” jawab saya, maksudnya saya mengakui kota ini amat menarik, tapi penjelasan di brosur terlalu singkat.
Kellnerin itu mengangguk, lalu meninggalkan saya. Tapi tak lama kemudian, ia kembali dan menyodorkan Handbuch (buku panduan) tentang Römerberg. Saya boleh membacanya (tapi tidak boleh membawanya pulang). Wah, saya loncat saking gembiranya!
“Wie ein erzählender Freund, ja?” Kellnerin itu merespon tingkah saya dengan raut muka senang dan mimik lucu. Maksud perkataannya ini, buku ibaratnya ‘sahabat yang sedang bercerita’ dan saya menemukan sahabat yang sedang saya butuhkan di saat yang tepat.
The Fountain of Justice
Saya membaca sambil menikmati sarapan dan minuman coklat hangat. Saya mencatat beberapa pointers, kemudian lanjut mengembara dan berpetualang sendiri menuju landmark yang amat terkenal yaitu der Gerechtigkeitsbrunnen atau “The Fountain of Justice“.
Menurut sejarahnya, selama masa Kekaisaran Roma Suci, The Fountain of Justice ini memainkan peran penting sebagai air mancur anggur suci untuk penobatan personil terkemuka Jerman. Monumen ini terletak tepat di tengah-tengah bagian depan Balaikota dengan dasar segi delapan, dan terbuat dari batu pasir merah. Simbol Dewi Keadilan ini berdiri di atas segi delapan batang besi berwarna hitam, yang pada 4 bagian dari 8 bidang yang ada, terdapat simbol elang Frankfurt.
Monumen bersejarah ini di topang 4 pilar yang solid dengan relief personifikasi Dewi Keadilan dalam nama-nama Latin. Dalam bahasa Jerman masing-masing tercatat Gerechtigkeit (Keadilan), Mäßigung (Moderasi), Hoffnung (Harapan) dan Liebe (Cinta). Ini semua melambangkan elemen keadilan dambaan semua bangsa di dunia.
Mitologi Dewi Keadilan
Telah lama masalah keadilan menjadi perhatian dan pemikiran para filsuf Yunani yang terus mencari hakekat keadilan. Yang melatarbelakangi pemikiran mereka adalah pertentangan antara hukum positif dan keadilan yang timbul karena adanya rasa tidak aman dalam masyarakat. Termasuk rasa tidak puas terhadap sistem pemerintahan aristokrasi dan banyaknya penyalahgunaan kewenangan. Ketidakadilan terlihat dalam hal tujuannya, apakah mengacu kepada kebaikan masyarakat atau kepentingan dari pihak pembuat undang-undang.
Walaupun banyak yang tidak mengenal nama atau sebutannya, sebagian besar kita mungkin sudah tidak asing dengan gambar atau patung seorang wanita dengan sebilah pedang bermata dua di salah satu tangannya dan sebuah timbangan atau neraca di tangan lainnya. Inilah sosok Lady Justitia atau Dewi Keadilan.
Lady Justitia atau Dewi Keadilan merupakan penggambaran dari keyakinan masyarakat Romawi dan Yunani kuno terhadap Themis, salah seorang dewi adi kodrati dalam mitologi Romawi dan Yunani kuno yang bertugas melakukan assessment atau penilaian bagi para arwah di alam akhirat apakah mereka layak atau tidak untuk masuk ke surga. Mitologi Dewi Themis inilah yang kemudian dijadikan simbol atas spirit penegakan hukum yang adil bagi sebagian besar masyarakat Eropa saat ini.
Hakikat Keadilan di Ruang Filsafat
Yang menarik, bila dicermati lebih teliti, kita akan menemukan dua versi Lady Justitia. Versi yang pertama adalah Lady Justitia dengan kondisi mata yang tertutup kain seperti yang umumnya di Inggris dan Amerika, dan satu lagi adalah versi yang tanpa penutup mata seperti yang berdiri di alun-alun kota tua Romerberg, Frakfurt am Main, Jerman.
Ada sederet argumentasi filosofis terkait dua versi ini. Lady Justitia dengan penutup mata (blindfold) diargumentasikan bahwa hukum haruslah ditegakkan tanpa pandang bulu, penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Dalam point ini hukum harus dibersihkan atau dimurnikan dari segala sesuatu yang dianggap non hukum, termasuk yang non hukum itu adalah emosi, rasa suka, cinta, belas kasihan, dsb.
Hukum haruslah obyektif. Argumentasi ini berkembang seiring menguatnya pemikiran rasionalitas pada ke 15, dan mendapat sokongan dari para pemikir positivisme hukum seperti John Austin, Hans Kelsen dan Hans Nawaisky.
Sementara Lady Justitia tanpa penutup mata, memiliki makna bahwa hukum haruslah peka dengan keadaan sosial masyarakat. Hakikatnya hukum adalah untuk manusia, maka hukum tidak boleh “menutup mata” dengan rasa kemanusiaan.