Labuan Bajo, suaranusantara.co – Alih waris Almarhum Paulus Jukung adik dari Kraeng Rebak Tu’a Golo Nanga Lili membuka sejarah awal mula perolehan tanah di Kendol yang kini diduduki oleh warga Gendang Kaca (Warga adat Kaca) sejak 24 September 2025. Lokasi ini terletak di Kendol, Desa Nanga Lili, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat-NTT
Alih waris almarhum Polus Jukung, adik dari tu’a golo Kendol mengulas sejarah awal perolehan tanah di Lingko sumur. Sementara lahan yang sama juga diklaim sebagai milik warga ulayat gendang kaca.
Kedua belah pihak telah ditemui secara terpisah oleh awak media ini. Berdasarkan pengakuan masing-masing pihak ditemukan kesamaan informasi yakni soal status kepemilikan lahan lingko sumur.
Sejarah awal perolehan tanah Almarhum Paulus Jukung
Alih waris almarhum Polus Jukung membuka sejarah awal perolehan tanah dari Tu’a golo Kendol.
Semula tanah yang kini dikuasai oleh alih warisnya di Lingko sumur diperoleh dari Tu’a Golo Kendol berdasarkan “kapu manuk lele tuak” (upacara adat untuk mendapatkan tanah ) kepada pemangku adat Kendol.
“Kemudian dalam perkembangannya karena ada hutan lebat di lingko sumur ini bapa ini berinisiatif melakukan proses budaya karena yang asli di situ adalah kraeng Rebak ini keturunan dari bapa ini kemudian pergi menemui Kraeng Rebak ini “Kapu manuk lele tuak” (ayam dan tuak sebagai sarana budaya untuk meminta tanah). Walaupun nikmat secara bersama tetapi dia yang bawakan itu minta untuk garap lingko sumur lalu dikasih. Kraeng Rebak katakan pada bapa saya Paulus Jukung “ator kaut lehau ase” (adik urus saja),” beber Rofinus Radu alih waris Paulus Jukung saat diwawancarai suaranusantara.co Senin, 6/10/2025, pekan lalu
Alih waris Polus Jukung, Rofinus Radu mengakui bahwa meskipun ayahnya menghabiskan waktu yang lama bersama kakak kandungnya yakni Kraeng Rebak, selaku tu’a golo Kendol, ia juga tetap kembali ke kampung asalnya di Wae Warang.
“Orang tua saya adik kakak dengan orang kendol, mereka dulu tinggal sama tetapi orang tua saya dulu pergi pulang dan menghabiskan banyak waktu di Kendol. Dalam kebersamaan itu bangun kerja sama dalam bentuk sosialitas kekeluargaan. Kakak kandungnya bapa ini sebagai tongka atau tokoh adat di kendol adalah kraeng Rebak kakeknya Masni yang sekarang menjadi alih waris tokoh adat Kendol. Mereka waktu itu belum masuk agama katolik juga belum kemudian masuklah ajaran agama islan ini nah langsung orang pesisir itu lebih dahulu. Kemudian kakak kandung dari bapa saya (Polus Jukung) masuk islam dan istrinya juga islam. Mereka tinggal di Kendol. Karena syarat masuk islam itu harus disunat maka bapa saya pindah ke atas,” tutur Rofinus dengan nada kesal ketika jejak jejak perjuangan ayahnya tidak diakui oleh warga Kaca.
Bahkan Rofinus menceriterakan bahwa setelah ayahnya mendapatkan pembagian tanah dari Kendol, ada beberapa orang kaca yang mengikuti jejak kakinya ke Kendol.
“Begitu bapa saya kembali ke Wae Warang
lalu dia cerita kebetulan saya ini sudah ketemu Kraeng Rebak untuk minta tanah akhirnya ada orang Kaca yang mau ikut untuk mendapatkan tanah yang telah dikuasai oleh Kraeng Rebak tadi ini,” tambahnya.Pelaksanaan Ritual Randang pada tahun 1951
Berdasarkan sejarah yang diwariskan oleh almarhum ayahnya bahwa upacara randang di Lingko Sumur itu berawal dari petunjuk mimpi yang mewajibkan semua orang yang menggarap lingko tersebut melakukan upacara Randang terlebih dahulu.
Tidak hanya Lingko sumur kata dia (Polus Jukung) tetapi juga termasuk dua lingko lain yakni Lingko Sambir Dangkung dan Sambir Telo.
“Dulu petunjuk itu semua melalui mimpi berdasarkan mimpi maka dilakukan ritual adat sampai dilakukannya acara randang. Randang itu namanya randang korut. Disebut Randang korut karena hanya diberikan hak untuk menggarap berdasarkan dalam ungkapan adatnya “long soko kawe Mbaek” artinya tanah itu dikerjakan selama orang itu masih ingin menggarap. setelah itu selesai sudah. Karena tidak diusahakan lagi maka kebun itu kembali hutan seperti semula,” Jelas Rofinus.
Hewan yang disembelih saat upacara randang korut itu adalah kerbau yang merupakan milik almarhum Polus Jukung.
Kemudian setelah warga Kendol berkembang yang kini dikenal dengan sebutan Nanga Lili, tanah itu dibagi oleh pemangku adat Kendol tanpa menemui masalah.
Sedangkan kuda menurut budaya Manggarai merupakan hewan yang tidak lazim digunakan untuk upacara randang.
“Dalam perkembangannya karena orang Kendol ini semakin berkembang maka mereka bagi jadi yang lakukan randang itu adalah Polus Jukung seturut kemauan tanah itu sesuai petunjuk mimpi tetapi semua acara itu atas persetujuan kraeng rebak. Hewan yang disembelih saat randang itu adalah kerbau miliknya dan tidak ada randang pake kuda. kerbau yang dipake saat randang itu milik bapa saya,” tegas Rofinus
Warga Gendang Kaca kuasai Lokasi, Mengaku menunggu komplain.
Warga kaca menduduki lokasi Kendol yang kini menjadi Tempat Kejadian Perkara (TKP) sejak Rabu, 24 September 2025.
Lahan yang dikuasai berjumlah 300 lebih hektar, terdiri dari dua lingko yaitu Lingko Sumur dan Lingko Sambir Telo sedangkan satu lingko Sambir Dangkung milik gendang pumpung.
Hal ini disampaikan oleh tokoh adat Gendang Kaca, Samuel Stefanus saat dihubungi suaranusantara.co melalui telepon pada Senin 6/10/2025, pekan lalu.
Dalam keterangannya, Samuel menjelaskan bahwa selema tanah itu bermasalah warga Gendang Kaca hanya berhadapan dengan pemerintah tanpa diketahui siapa pihak yang komplain.
“Kegiatan ini dilakukan untuk memunculkan siapa sebenarnya yang komplain ini karena ite sudah mulai kegiatan sejak tahun 2011 sampai saat ini juga kita belum tau siapa sebenarnya yang komplain karena selama ini kami hanya berhadapan dengan pemerintah,” ujar Samuel
Setelah Warga Gendang Kaca menduduki lokasi tersebut, pihaknya mendapat informasi dari Aparat Kepolisian bahwa pihak sebelah sudah menempuh jalur hukum.
Menurutnya (Samuel) Warga Kaca sudah siap menghadapi proses hukum karena ia mengaku tanah yang didudukinya merupakan milik Gendang Kaca.
“Bagi siapa saja yang merasa dirugikan silahkan dia menempuh jalur hukum karena ini lahan milik gendang kaca. Sejak tahun 1992 Nanga Lili akui ko lahan ini milik kami. Dipersatian batas kebetulan mereka sedikit-sedikit mereka mulai mengerjakan lahan ini. Kegiatan ini dilakukan atas nama Gendang (Gendang Kaca),” jelas Samuel dengan lantang.
Dia juga mengatakan bahwa tanah itu milik Gendang Kaca dan sudah dibagikan kepada sejumlah warga atas dasar itu maka warga Kaca tidak perlu melakukan gugatan.
“Lokasi ini sudah dibagikan kepada 600 lebih warga sejak tahun 2011. Nah bagi siapa yang merasa dirugikan silahkan mereka tempuh jalur hukum. Untuk kami yang memulai itu tidak mungkin karena kami tidak tahu wilayah ini ada yang ambil karena pihak yang ambil tidak pernah muncul,” Pungkasnya.
Soal tanah yang sudah disertifikat itu, Samuel katakan “kami tidak tahu dan sekarang kami lakukan kegiatan membersihkan lahan ini karena sebentar lagi memasuki musim tanam,” lanjutnya
“Lokasi yang kami kerjakan sekarang terdiri dari dua lingko yaitu lingko sumur, lingko, sambir Telo dan satu lingko sambir Dangkung itu milik gendang Pumpung tetapi lingko itu sekarang mereka sudah sertifikat,” terang Samuel yang kala itu berada di lokasi perkara.
Meskipun Warga Gendang Kaca menduduki lokasi itu untuk membersihkan kebun dan membuat pagar baru, namun situasi itu tetap kondusif karena sudah dikawal oleh aparat TNI dan Polisi.
“Selama kegiatan ini berlangsung pihak pemerintah kecamatan sudah melihat kegiatan ini juga aparat kepolisian dan TNI. Mereka memberikan himbauan untuk tidak boleh melakukan anarkis selama melakukan kegiatan. ya kerja sajalah selama bila merasa tanah ini milik sendiri. Ada informasi juga dari pihak kepolisian bahwa pihak sebelah juga sudah membuat laporan katanya laporannya pidana tetapi sejauh ini kami juga belum dipanggil,”
Soal upacara Randang, warga Kaca juga mengakui keberadaan Paulus Jukung pada masa itu dan juga memiliki tanah di lokasi Lingko Sumur.
Keterangan yang disampaikan oleh Samuel selaku tokoh adat Gendang kaca ini membenarkan sejarah yang dibeberkan oleh alih waris almarhum Paulus Jukung.
“Pernah dilakukan upacara adat yaitu Randang pada tahun 1951 ada saksi-saksi, gendang saksi ada. pada waktu Randang Bapa Paulus Jukung juga ada dan mendapat pembagian tanah di Lingko Sumur tetapi moso semuanya bersumber dari Gendang kaca. Hanya tua adat saja yang bisa menjelaskan terkait upacara Randang itu,” jelas Samuel sembari mengatakan bahwa yang lebih tahu hal itu adalah tu’a Gendang Kaca.
Sebagai warga Gendang, Samuel hanya menyebut diri sebagai pembantu Pemangku adat dan yang bertanggungjawab dalam proses hukum adalah Tu’a Gendang (Pemangku adat) Kaca.
“Saya sebagai warga gendang yang bertugas untuk membantu tua adat tetapi penanggungjawab utamanya adalah adalah gendang semua warga gendang wajib ikut bersuara kalau datang dari pihak kepolisian atau camat. Kalau nanti pihak kepolisian panggil ya tua gendangnya bersama warga karena semua pelaku. Tidak ada oknum-oknum tertentu yang dipanggil,” tandas Samuel.
Untuk diketahui bahwa saat ini awak media masih berusaha menemui pemangku adat Gendang Kaca dan pemangku adat Kendol.