Tidak Melarang Monarki Totaliter
“Islam tidak mengharuskan lembaga atau sistem politik tertentu. Agama tidak melarang monarki totaliter. Tidak di perintahkan, tapi di ceritakan dalam kitab suci. Otokrasi ada yang jelek, ada Firaun dan Namrudz. Tapi ada Khalifah Umar bin Abdul Azis, Harun Ar Rasyid yang baik,” jelas Mahfud.
Mahfud menegaskan, agama dan demokrasi sangat kompatibel. Di dalam demokrasi, ada nilai toleransi yang mewajibkan manusia harus siap berbeda. Ada juga prinsip kesetaraan yang menyebut semua manusia kedudukannya sama. Juga ada nilai keadilan dan kejujuran.
“Itu kan nilai agama. Yang salah dan perlu di koreksi itu, ada yang bilang demokrasi thoghut. Harusnya kritiknya, demokrasi memang ada yang di pakai mencari keuntungan untuk kelompoknya sendiri. Hal yang tidak benar di buatkan hukum menjadi benar atas nama demokrasi. Kalau terjadi, artinya pemeluk agama gagal isi ruh demokrasi dengan nilai mulia keagamaan. Artinya, demokrasi bisa di manfaatkan untuk kebaikan. Juga bisa juga diselewengkan,” kata Mahfud.
Di tambahkannya, apapun jenis sistem negara dan pemerintahannya, nilai dan tujuan yang di usung haruslah sama. Negara mesti di tujukan membangun keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan membangun akhlak.
“Yang penting nilai-nilai ini. Apakah Mamlakah, Sultanah, Imamah, Keamiran atau Emirat, silakan saja. Kalau Indonesia sudah memilih demokrasi, mitsaqon gholidzo, maka isilah demokrasi dengan nilai kebajikan perilaku para pelakunya,” tutup Mahfud.