Jakarta,Suaranusantara.co-Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) Andre Rahadian meminta status tersangka bagi para peserta aksi yang ditangkap saat demo Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2021 lalu dicabut.
Hal itu disampaikan Andre dalam diskusi virtual Forum Diskusi Salemba Policy Center Iluni UI dengan tema “Menimbang Demonstrasi pada Masa Pandemi: Ekspresi Berserikat dan Ketertiban Umum”, Sabtu 8 Mei 2021.
Menurut Andre penangkapan tersebut melanggar kebebasan berekspresi masyarakat yang sudah berjalan sesuai peraturan.
“Adik-adik mahasiswa dan para buruh sudah mengadakan aksi secara damai dan sesuai protokol kesehatan, namun tetap ditangkap dan dijadikan tersangka,”kata Andre, melansir Beritasatu.com, Minggu 9 April 2021.
Andre menyarankan harus ada panduan terkait bagaimana masyarakat bisa melakukan hak-haknya dengan satu protokol yang jelas. Dia menyoroti aparat yang juga dianggap belum melaksanakan protokol kesehatan pada saat aksi berlangsung.
“Apakah kemarin ada kesalahan atau ada usaha-usaha untuk membuat hak masyarakat menyatakan pendapat berkurang. Kita tahu saat ini masih di masa pandemi, sehingga semua pihak harus punya kesepakatan apa yang bisa dilakukan,” jelasnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga mencoba mengadvokasi mahasiswa di BEM, termasuk ketua BEM FHUI yang jadi tersangka. Iluni UI juga berperan aktif dalam menyatakan pendapatnya secara damai melalui pelaksanaan diskusi virtual.
“Semoga dengan forum diskusi ini bisa jadi sinergi temu berbagai elemen untuk memberikan masukan bagaimana penanganan ini ke depan. Jangan sampai menimbulkan kegaduhan di mana kita harus berkonsentrasi menangani pandemi,” harap Andre.
Sementara, Wakil Dekan FHUI Andri Gunawan Wibisana menyayangkan tindakan dan penangkapan terhadap mahasiswa peserta demo. Dia melihat adanya penyalahgunaan wewenang dan pembungkaman suara kritis. Jika dibiarkan, kondisi ini akan berbahaya, dan dapat membawa bangsa kembali pada situasi gelap sebelum reformasi.
“Sudah saatnya kita melihat lagi hukum acara pidana apakah masih layak dipertahankan atau justru perlu melakukan kajian-kajian lebih kritis. Apakah terlalu banyak diskresi yang akan membahayakan publik. Jika kemungkinan terburuk harus dilawan di pengadilan, kita lawan. Jangan sampai hal ini dibiarkan,” tandasnya.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritisi diskriminasi yang terjadi dalam penindakan pelanggaran protokol kesehatan.
Berdasarkan laporan Bawaslu, ada banyak pelanggaran yang terjadi saat pilkada dan tidak mendapat penindakan hukum. Namun, mahasiswa dan para buruh yang ikut serta dalam aksi demonstrasi justru ditangkap bahkan ketika mereka sudah selesai aksi.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (TAU KSP) Donny Gahral Adian meyakinkan, pemerintah tetap membuka ruang kebebasan berekspresi di tengah pandemi. Jika ada dinamika di lapangan, hal tersebut akan ditindaklanjuti. Termasuk kebutuhan akan protokol untuk menyampaikan pendapat di muka umum pada masa pandemi.
“Tidak ada niatan atau policy untuk pengetatan dan represi masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya. Tapi kalau di lapangan ada dinamika, KSP pasti akan mencatatnya dan menjadi koreksi internal. Semoga bisa diselesaikan, termasuk harapannya agar tidak mudah melakukan pemidanaan jika ada pelanggaran protokol kesehatan,” pungkas Donny.