Jakarta, Suaranusantara.co – Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Dr. Fokky Fuad, yang meraih gelar S3 bidang ilmu hukum, memiliki cerita tersendiri yang terbilang unik. Disertasi—karya ilmiah hasil penelitian—berbasis empirik yang dibuatnya bertahun-tahun lalu yang membahas tentang etnis Tionghoa, tepatnya warga Cina Benteng, merupakan pilihan novelty yang sempat menjadi pertanyaan karena isu yang diangkat saat itu dianggap tidak populer.
Namun kenyataannya, ketidakpopuleran pembahasan subyek penelitian inilah yang membuat disertasinya berbeda, karena berbanding terbalik dengan stereotip bahwa ‘orang Cina adalah pebisnis sukses, banyak cuan, atau kaya’.
Dan uniknya lagi, dosen yang juga pecinta literasi ini, baru mengetahui bahwa disertasinya telah dicetak dan tersebar di pasaran dalam bentuk buku dengan jumlah banyak, dan diantaranya ada di gudang penyimpanan buku, ketika sedang ‘hunting‘ di Lorong Buku Batavia di kawasan Pasar Gembrong. Merasa terkejut, sekaligus senang, bercampur jadi satu, ketika melihat karya disertasinya bisa berada di tengah masyarakat.
Diskusi Cina Benteng
Pembahasan buku ‘disertasi CiBen’ bersama Dr. Fokky dan Daniel Limantara siang itu menjadi menarik, karena di saat hari-hari ini situasi perpolitikan Indonesia sedang ramai diwarnai isu keterlibatan oligarki yang konon berasal dari etnis Cina, namun faktanya tidak semua warga masyarakat etnis Cina di Indonesia kehidupannya semakmur cerita ‘sembilan naga’.
Bersama komunitas Lorong Buku Batavia dan Neo Historia Indonesia, saat memasuki hari ke-11 Imlek atau Festival Musim Semi, diselenggarakan diskusi pada Sabtu (08/02), yang membahas sudut pandang budaya hukum pedagang kecil Cina Benteng di Kampung Sewan, Tangerang yang pernah dikaji dalam disertasi Dr. Fokky.
Suasana diskusi lebih serupa dialektika dosen dengan mahasiswa, yang biasa terlihat di sudut-sudut kampus. Komunikasi sudah terbangun karena di antara yang hadir adalah pecinta buku. Sepertinya harus diakui, bahwa e-book tidak sepenuhnya dapat menggantikan ‘keharuman’ lembaran-lembaran buku terbuat dari kertas, yang makin usang justru makin terlihat value-nya, dan bagi kolektor buku disinilah letak rasa senang itu. Rasa yang tak tergantikan oleh kecanggihan mesin teknologi.
Suasana kasual di lorong yang penuh deretan koleksi buku ini mendekatkan mereka yang hadir dan suasana mencair. Berkali-kali celetukan lucu dan candaan membuat mereka tersenyum atau tertawa lepas. Terlebih ketika topik pembahasan semakin hangat hingga seakan tidak ada habisnya untuk dibahas. Selama diskusi, dibuka kesempatan untuk bertanya, bahkan peserta sendiri ada yang berbagi cerita dan pengalaman yang menambah wawasan peserta diskusi.
Budaya Hukum Pedagang Kecil Cina Benteng Kampung Sewan
Dilihat dari judulnya, “Budaya Hukum Pedagang Kecil Cina Benteng Kampung Sewan”, jelas penelitian ini menekankan kajian dari sudut pandang hukum. Ya, buku ini adalah disertasi yang isinya menjelaskan bagaimana komunitas Cina Benteng Kampung Sewan yang tidak mengenal praktik pembuatan kontrak tertulis seperti apa yang dikenal dalam hukum positif di Indonesia tapi dapat melanggengkan kepentingan bisnis mereka sehingga bisa tetap berjalan sebagaimana biasa.
Cina Benteng adalah sebutan bagi komunitas Tionghoa yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan Tionghoa peranakan pada umumnya, karena etnis Cina Benteng lebih berkulit gelap dan mata mereka tidak sipit. Sementara nenek moyang asli Cina Benteng adalah Cina Hokkian yang datang ke wilayah Tangerang dan tinggal secara turun-temurun di kawasan Pasar Lama, yang kini menjadi Jalan Ki Samaun.
Kawasan tersebut merupakan pemukiman pertama masyarakat Cina Benteng yang menjadi cikal bakal Kota Tangerang. Meskipun demikian, komunitas Cina Benteng yang dapat dikatakan masih asli hanya terdapat di wilayah Kampung Sewan. Sebagian besar dari mereka hidup sederhana dan bekerja sebagai petani, peternak, pedagang nelayan, hingga tukang becak. Cina Benteng memang selalu diidentikkan sebagai orang Tionghoa dengan ciri-ciri berkulit gelap, jago bela diri dan kehidupannya sederhana
Kesuksesan suatu bisnis pada umumnya berkaitan dengan perencanaan yang matang, adanya mitigasi resiko, memastikan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis sebagai hasil kesepakatan, dan seterusnya, yang tujuannya adalah untuk memastikan tercapainya tujuan, terlebih apabila kontrak yang dibuat menyangkut kapital kerja dalam jumlah yang besar. Di benak kebanyakan orang, etnis Cina umumnya sukses jika berbisnis, dan cermat dalam menyusun rencana yang dituangkan dalam kontrak ketika harus menjalin kerjasama bisnis.
Hal demikian ini tidak ditemui di tengah masyarakat Cina Benteng Kampung Sewan. Mereka tidak mengenal adanya kontrak tertulis tetapi usaha yang dijalankan tetap dapat bertahan. Dalam penjelasannya Dr, Fokky juga menuturkan kecenderungan etnis Cina yang sedapat mungkin tidak bersentuhan dengan hukum atau tepatnya hukum acara di Indonesia.
Paduan Budaya Lokal dan Cina Benteng
Kebudayaan masyarakat Cina Benteng merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal setempat dengan sentuhan budaya etnik Betawi dan Sunda. Di antara bentuk kesenian yang lumayan dikenal adalah Gambang Kromong atau musik pengiring pertunjukan lenong yang sangat kental dengan nuansa musik Tionghoa, serta Seni Tari Cokek.
Dari hasil penelitiannya, diungkapkan juga bahwa selain berasimilasi dengan budaya lokal, Cina Benteng juga berupaya untuk melestarikan budaya asli nenek moyang mereka, berupa perayaan dan upacara di hari-hari besar agama, seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Sembahyang Kue Onde, Sembahyang Sin Beng, upacara Ceng Beng dan upacara Toan Ngo atau Peh Cun, termasuk tradisi-tradisi mempersiapkan hio-lo atau tempat sembahyang ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Percampuran warga Tionghoa dengan warga lokal melahirkan berbagai budaya baru, misalnya saat pernikahan, pengantin perempuan Betawi menggunakan kembang goyang, sementara pengantin laki-laki Tionghoa mengenakan topi dengan rambut yang diikat. Ciri khas tersendiri mengenai masyarakat Cina Benteng yang tetap terud dipertahankan antara lain budaya mereka merupakan akulturasi antara masyarakat Sunda dan Betawi. Selain itu, masyarakat Cina Benteng memiliki warna kulit gelap, dengan raut muka tipikal Chinese, dan keberagaman keyakinan yakni Buddha, Konghucu, dan Tao.
Hewan mitologis masyarakat Cina Benteng yang memiliki arti penting diantaranya adalah Burung Phoenix dan Naga. Hanya permaisuri kaisar Cina yang dapat mengenakan lambang Burung Phoenix sebagai simbol agung kewanitaan, sebab burung Phoenix melambangkan sifat-sifat feminin seperti keindahan, kelembutan, dan kebijaksanaan. Sementara lambang naga dalam budaya Tionghoa melambangkan kekuatan dan keberanian maka menjadi simbol bagi laki-laki dan digunakan oleh kaisar sebagai lambang kekuasaan.
Diskusi seperti ini sangat menarik untuk terus diadakan, karena sangat menggelitik keingintahuan, dan kita bisa mencari jawaban-jawaban dengan bertanya langsung kepada sumbernya, yaitu para penulis buku. Dengan adanya kegiatan semacam ini juga akan menggiatkan semangat literasi bukan hanya di kalangan pecinta buku dan literasi saja tetapi juga dapat memberikan edukasi pada publik dan meningkatkan budaya membaca.