Jakarta, Suaranusantara.co –Anak angkat dalam hukum kewarisan tidak termasuk ahli waris, karena secara biologis tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orangtua angkatnya kecuali anak angkat itu diambil dari keluarga orangtua angkatnya. Karena dalam perkembangannya, hukum Islam memperbolehkan pengangkatan anak, asal tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orang tua kandungnya, dan pada prinsipnya bersifat pengasuhan, pemberian perhatian, kasih sayang, dan pemberian pendidikan (M. Budiarto, 1985).
Karena bukan ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli waris dari warisan orangtua angkatnya. Walaupun tidak mendapat warisan dari orangtua angkatnya akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibah untuk mendapatkan harta warisan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 209 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
KHI mendefinisikan anak angkat dalam pasal 171 huruf (h) sebagai ”anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya, atau berdasarkan putusan Pengadilan”.
Pengangkatan anak umumnya dilakukan melalui putusan Pengadilan karena secara normatif putusan Pengadilan ini bertujuan untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti jika terjadi sengketa.
Namun apabila telah ada alat bukti lainnya yang dapat digunakan, maka penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat sesuai sila ke 4 dasar negara Pancasila.
Sementara hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Dalam wasiat terdapat juga yang namanya wasiat wajibah, yakni wasiat yang diberikan kepada pihak yang bukan ahli waris.
Dosen Fakultas Hukum UAI menjelaskan tentang Surat An-Nisa ayat 11-12, yang menjelaskan, bahwa dalam hukum waris Islam, kedudukan wasiat sangat penting, sehingga harus didahulukan sebelum dilakukannya pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris.
Makna “wasiat wajibah” adalah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum ini lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat itu dibuat, wasiat wajibah itu dianggap ada dengan sendirinya.
Dalam hukum kewarisan, sesuai dengan ketentuan KHI Pasal 209, apabila orang tua angkat meninggal dunia, anak angkat mendapat wasiat wajibah. Pelaksanaan wasiat wajibah anak angkat ini pun tidak menghalangi haknya yang lain sebagai ahli waris dari pihak orang tua kandungnya (pewaris).
Hasil penelitian menunjukan bahwa wasiat wajibah banyak dilakukan masyarakat Indonesia yang multikultural, sebagai pendekatan kekeluargaan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 209 yang menyatakan bahwa “yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak angkat dan orang tua angkat, sedangkan cucu dimasukkan ke dalam ahli waris pengganti”.
Pengertian anak angkat menurut UU Perlindungan Anak Pasal 1 angka 9 adalah “Anak angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”
Anak angkat berhak mengetahui asal usulnya dan orang tua kandungnya, karena ini merupakan kewajiban yang ditentukan Pasal 40 ayat (1) UU Perlindungan Anak, tentunya dengan mempertimbangkan kesiapan anak angkat untuk mendapatkan informasi dan fakta yang sebenarnya.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP 54/2007 dengan tegas menyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli waris dari warisan orangtua angkatnya, tapi mendapat wasiat wajibah berdasarkan bukti yang ada untuk mendapatkan bagian dari harta warisan dari orangtua angkatnya.
Ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia mengenal dan menerapkan hukum adat, hukum Islam dan hukum nasional, namun ketiganya memiliki kekuatan yang sama, yang masing-masing juga mengatur ketentuan tentang hak waris. Setiap warga negara bisa memilih hukum mana yang akan mereka gunakan untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Apabila proses penyelesaian perkara waris menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung pada hukum adat yang berlaku. Misalnya dalam keluarga parental suku Jawa pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara sang anak dengan orang tua kandungnya. Sehingga, selain mendapatkan bagian waris dari orang tua angkatnya, anak itu juga tetap berhak atas hak waris dari orang tua kandungnya.