Ruteng, Suaranusantara.co – Yayasan Perguruan Tinggi Tunas Karya (YPTTK) Ruteng disomasi oleh salah satu dosen yang berinisial LM.
Somasi ini merupakan buntut kebijakan kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Karya Ruteng yang mengamputasi hak dosen LM dengan tidak memberikan tugas mengajar.
Surat Somasi diserahkan kepada Ketua YPTTK oleh kuasa hukum LM, Melkhior Judiwan, SH. MH dari kantor Advokat dan Konsultan Hukum Melkhior Judiwan, SH. MH & Partners pada Jum’at (28/3/2025).
Melkhi sapaan Melkhior menjelaskan, somasi ini merupakan upaya bipartit yang dilakukan pihaknya untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dialami kliennya (dosen LM) dengan pihak YPTTK.
Lanjut dijelaskan Melkhior, dalam surat somasi yang disampaikan, terdapat 13 poin yang menjadi pokok pikiran utama yang menjadi pertimbangan pihaknya.
“Semua poin dalam Somasi ini pada intinya meminta YPTTK untuk memenuhi semua hak normatif yang seharusnya diterima oleh klien kami,” jelas Mantan Hakim Ad-Hock Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Kelas I A Kupang, Periode 2006-2016 tersebut.
Diuraikan oleh Melkhi, kliennya telah mengabdi selama tujuh tahun pada kampus STIE Karya.
Selama mengabdi, kliennya mengaku tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap seluruh ketentuan yang ditetapkan oleh YPTTK.
“Argumentasi pihak kampus tidak beralasan, klien saya selalu setia dan ta’at terhadap seluruh ketentuan yang berlaku. Kami lampirkan lengkap dengan beberapa bukti dokumen,” lanjut advokat lulusan Magister Ilmu Hukum UNS tersebut.

Intervensi Yayasan Dalam Kegiatan Tridharma Kampus dan Upah Dosen Dibawah UMP
Dalam somasinya, Melki yang telah mendapat kuasa dari dosen LM juga mencantumkan dominasi dan intervensi Ketua Yayasan dalam seluruh kegiatan Tridharma lembaga dan persoalan upah dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Diuraikan oleh anggota DPC Peradi Kabupaten Manggarai ini, aktivitas di lingkungan kampus STIE Karya terasa aman dan menyenangkan ketika dipimpin oleh Heribertus Mutis, Ketua yayasan terdahulu.
Situasi dan kondisi lingkungan kerja di Kampus STIE Karya Ruteng berubah total ketika pimpinan Yayasan beralih ke Mariyati Helsako F. Mutis.
Ketua YPTTK dinilai cenderung ekstrim dan mengintervensi kebijakan Tridharma Perguruan Tinggi yang menjadi wewenang Ketua STIE Karya bersama segenap Civitas Akademika Lembaga.
Intervensi yang dilakukan bahkan termasuk penentuan dalam hal akademik yang mencakup pembagian tugas pengampuhan mata kuliah oleh dosen terkait.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Melkhi, pada saat Ketua YPTTK dijabat oleh Helsako F. Mutis, kliennya (dosen LM) mendapat perlakuan berbeda.
Klien (dosen LM) yang biasanya mengampuh tiga mata kuliah mendapat kebijakan tidak diberikan tugas mengajar oleh karena intervensi Ketua YPTTK.
“Kebijakan Ketua YPTTK jelas melanggar undang-undang tentang Dosen. Klien saya adalah staf pengajar dengan jabatan fungsional asisten ahli. Seturut aturan, dosen dengan jabatan tersebut mendapat tugas minimal 9 SKS,” jelas Melkhi.
Melkhi menyebutkan, kebijakan YPTTK merupakan tindakan tidak terpuji dan sangat merugikan kliennya. Kebijakan tersebut juga disebut sebagai upaya pembunuhan karakter.
Melkhi menambahkan, protes yang disampaikan oleh kliennya melalui surat permohonan peninjauan kembali pada tanggal 18 Februari 2025 sangat beralasan.
Respon balasan yang meminta membuat surat pernyataan atau mengundurkan diri menggambarkan pihak YPTTK sudah tidak lagi menghendaki keberadaan kliennya.
Melkhi menilai, tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan pihak YPTTK bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.
Peraturan yang dimaksud diantaranya UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, jo. UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, jo. PP. No. 35 Tahun 2021 Tentang PHK.
“Honor dibawah UMP, THR yang tidak dibayar, dan tidak ada jaminan BPJS merupakan hak normatif klien yang wajib dibayarkan oleh pihak YPTTK,” jelasnya.
Melkhi yang juga menjabat Ketua DPC Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Cabang Manggarai juga menyebut pelanggaran lain yang dilakukan YPTTK.
Pelanggaran yang ia maksudkan adalah kewajiban YPTTK yang memberikan upah jauh dibawah UMP NTT.
Dijelaskan oleh Melkhi, selama mengabdi di Kampus STIE Karya, kliennya mendapat kisaran upah 600 ribu hingga 800 ribu. Upah yang diberikan jauh dari aturan UMP sebesar Rp. 2.328.969,69 sen.
“Oleh karena upah pokoknya dibawah UMP NTT, maka kalkulasi perhitungan hak-hak normatif klien, kami menggunakan patokan UMP NTT tahun 2025,” imbuhnya.
Pemenuhan Hak Normatif
Dijelaskan oleh Melkhi, konsekuensi logis dari tindakan pelanggaran terhadap aturan UU yang dilakukan, pihak YPTTK berkewajiban membayar seluruh hak normatif kliennya.
Melkhi menguraikan secara terperinci perhitungan hak-hak normatif klien yang harus dipenuhi oleh pihak YPTTK diantaranya Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja (PMK), Uang Penggantian Hak, Uang kekurangan Upah, Upah Tunjangan Hari Raya, dan jaminan BPJS Ketenagakerjaan yang mencakup Jaminan Kecelakan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), maupun Jaminan Hari Tua (JHT).
Setelah dilakukan perincian, total hak normatif yang harus dipenuhi pihak YPTTK adalah Rp. 199.585.490 (seratus sembilan puluh sembilan juta, lima ratus delapan puluh lima, empat ratus sembilan puluh rupiah)
“Somasi ini berlaku dalam waktu lima hari sejak disampaikan dan diterima oleh pihak YPTTK. Apabila surat somasi ini tidak dibalas, maka akan kami proses ke tahap lanjutan,” jelas Melkhi.
Media ini sudah berupaya untuk menemui dan meminta tanggapan dari Ketua YPTTK dengan mendatangi kantor Yayasan yang berlokasi di dalam kampus STIE Karya Ruteng pada Jum’at (28/3/2025).
Namun, tanggapan tidak bisa didapatkan karena Ketua YPTTK enggan untuk ditemui wartawan.
“Beliau sedang sibuk dan tidak mau ditemui oleh siapapun,” ujar Security yang menjaga gerbang Kampus STIE Karya Ruteng tersebut.
Penulis: Patris Agat