Oleh: Anna Saraswati, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Tantangan UU ITE saat ini adalah upaya yang dilakukan secara hukum untuk melakukan percepatan guna mengimbangi derasnya kemajuan teknologi informasi yang membawa para pengguna memasuki era baru yang disebut digital age.
Perkembangan teknologi informasi begitu pesat dengan segala platform penunjang yang ditawarkan. Namun sayangnya, teknologi informasi selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, juga dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
Kegiatan e-commerce dan e-transaction menerapkan teknologi komunikasi masuk ke ranah lintas batas. Banyak kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan mereka pribadi. Sebagaimana halnya di berbagai negara, di indonesia telah ada virtual police yang menjaga dunia maya dan menangkap para pelaku kriminal. Namun demikian, dunia maya yang luas menjadi tantangan tersendiri dalam menangani tindak kriminal.
Prof. Agus Surono menjelaskan bahwa salah satu kebijakan hukum telematika adalah dengan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi.
Guna mengatasi segala kerumitan dinamika di tengah masyarakat pengguna internet, diperlukan aturan yang sesuai perkembangan zaman terkait bidang hukum. Namun hukum formil di Indonesia mensyaratkan pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, sedangkan informasi elektronik belum sepenuhnya dapat terakomodasi dalam sistem hukum Indonesia secara komprehensif, sehingga dampak yang diakibatkan juga bisa sedemikian rumit. Segi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi perlu diperhatikan sungguh-sungguh agar dapat berkembang secara optimal.
Kendala Penegak Hukum
Penegak hukum menghadapi kendala dan mengalami kesulitan untuk menangani kasus cybercrime dalam hal penangkapan tersangka dan penyitaan barang bukti. Penentuan siapa pelakunya secara pasti juga sulit karena kejahatan dilakukan dengan perangkat komputer dimana saja atau secara tersembunyi di suatu tempat tanpa ada yang mengetahui dan tidak ada saksi yang melihat secara langsung.
Upaya maksimal pelacakan yang dilakukan oleh penyidik hanya sebatas dapat menemukan IP address pelaku dan komputer yang digunakan. Yang tentunya semakin sulit jika pelaku kejahatan menggunakan fasilitas warnet, terutama karena masih jarang ada warnet yang meregistrasikan pengguna jasa mereka, sehingga kepolisian tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut saat terjadi tindak pidana.
Keterlambatan korban dalam menyampaikan laporan juga menjadi kendala bagi penyidik untuk melakukan penyitaan barang bukti. Rentang waktu yang cukup panjang membuat data serangan di log server sempat terhapus atau penyidik menemui kesulitan mencari log statistik dari server karena setting yang secara otomatis menghapus log untuk mengurangi beban server.
Pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap saksi dan korban juga banyak mengalami hambatan, karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada saksi. Mereka baru mengetahui setelah kejadian berlalu setelah menyadari dampak serangan seperti tampilan yang berubah atau tidak berfungsinya program, sebagaimana bisa terjadi dalam kasus-kasus hacking.
Perlunya Upaya Revisi Regulasi
Guna mengatasi kendala pemberlakuan UU ITE untuk penanganan berbagai bentuk kejahatan dunia maya, diperlukan upaya revisi regulasi, penetapan ulang terkait pengertian dan terminologi hukum telematika untuk cybercrime, agar dapat mengatasi timbulnya beragam penafsiran.
Masih diperlukan banyak unsur yang harus dibuktikan untuk penyempurnaan rumusan delik cybercrime, rumusan kriminalisasi perbuatan melanggar, dan menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan sebuah sistem elektronik. Dalam Pasal 30 ayat (3) UU ITE tidak dijelaskan tentang definisi cybercrime, sehingga tidak diketahui hingga sejauh mana batasan yang dinyatakan sebagai unsur cybercrime, misalnya apakah akan melakukan atau percobaan melakukan kejahatan cybercrime itu dapat dikategorikan kejahatan atau tidak.
UU ITE tidak mengatur mengenai pemidanaan bagi pelaku-pelaku yang perbuatan pidananya yang seharusnya masuk kategori kejahatan siber, seperti kebocoran data dan espionage (mata-mata), identity theft dan juga fraud. Revisi UU ITE diperlukan agar perisai hukum tindak pidana siber bisa lebih lengkap dan konkrit dalam menyelesaikan masalah-masalah cybercrime di Indonesia.