Jakarta, Suaranusantara.co – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus mempertanyakan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara pidana kerumunan massa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dan lima (5) eks pimpinan FPI yang di gelar secara offline.
“Sikap inkonsisten dan mudah goyah dari majelis hakim, patut di pertanyakan. Apakah karena bersimpati atau menjadi simpatisan terdakwa MRS. Atau akibat tekanan dan pengaruh kekuatan lain di luar sidang,” ujar Petrus Salestinus dalam keterangannya, Jumat 26 Maret 2021.
Hal tersebut menurut Petrus, harus di jawab, agar perubahan acara persidangan secara offline, tidak menimbulkan masalah hukum yaitu melanggar kewajiban hakim menjaga kemandirian peradilan.
Petrus juga menduga perubahan sikap majelis hakim yaitu mengabulkan sidang secara offline, di yakini sebagai buah dari tekanan massa simpatisan MRS, tim penasehat hukum.
Padahal, katanya, majelis hakim seharusnya patut menduga bahwa jika MRS di izinkan sidang secara offline. Maka kerumunan massa simpatisan MRS akan semakin besar dan sulit di bendung. Yang pada gilirannya melanggar Protokol Covid-19.
Perubahan Menjadi Sidang Offline
Petrus mengatakan, mengubah acara persidangan menjadi offline, merupakan penyalahgunaan wewenang dan melanggar hukum. Karena sidang secara online diatur oleh Perma (Peraturan Mahkamah Agung) dan oleh UU.
“Itu melanggar hukum, karena Perma itu bagian dari upaya menjaga kemandirian peradilan dan kekuasaan kehakiman. Yang merdeka, agar tidak ada kekuatan dari luar yang mempengaruhi hakim,” katanya.
Menurut Petrus, jika persoalannya terletak pada hakim bersimpati atau berkepentingan dengan MRS. Atau karena campur tangan pihak lain sehingga hakim kehilangan kemandiriannya. Maka majelis hakim harus mengundurkan diri dan di ganti dengan hakim lain yang lebih netral dan mampu menjaga kemandirian peradilan.
Advokat Peradi itu pun meminta publik untuk paham bahwa persidangan secara Elektronik itu dilakukan demi mematuhi prinsip “Salus Populi Suprema Lex Esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi).
Kemudian, sesuai ketentuan undang-undang kekarantinaan kesehatan. Khususnya tentang protokol kesehatan Covid-19. Yang di atur dalam peraturan Mahkamah Agung No.4 tahun 2020. Tentang administrasi persidangan perkara pidana di pengadilan secara elektronik.
Kekuasaan Hakim
Lebih jauh Pertus menegaskan, UU secara tegas menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UU Dasar 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Ia menjelaskan, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis).
“Karena itu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman di larang. Dan bagi yang melanggar di pidana,” tegasnya.
Kenyataannya, kata dia, majelis hakim sudah menggadaikan kemandirian peradilan dan kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya dengan sebuah surat pernyataan jaminan dari penasihat hukum terdakwa.
“Hanya surat pernyataan jaminan dari penasihat hukum terdakwa, yaitu jaminan tidak akan ada kerumunan massa pada sidang-sidang berikutnya, tanpa mempertimbangkan apakah surat jaminan itu riil atau semu yang menjamin massa tidak datang ke persidangan nanti,” pungkas Petrus.