Langkah Lain
Selain itu, langkah lain yang di lakukan OSO adalah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan Surat Keputusan DCT KPU. PTUN mengabulkan permohonan OSO dengan membatalkan SK KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai Calon Anggota DPD.Pasca dikeluarkannya putusan PTUN yang membatalkan SK DCT KPU tersebut, Bawaslu mengeluarkan putusan atas sengketa proses pemilu yang memerintahkan KPU untuk memasukan nama OSO dalam DCT dengan catatan OSO wajib mengundurkan diri dari kepengurusannya dalam partai politik.
Tentu putusan Bawaslu tidak sepenuhnya tunduk pada putusan PTUN yang hanya memerintahkan KPU untuk memasukan OSO dalam DCT. Di sisi lain, KPU tidak menaati perintah Bawaslu untuk memasukan nama OSO dalam DCT. Idealnya KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan perbaikan administrasi berupa penerbitan keputusan baru tentang Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) dengan mencantumkan kembali nama OSO sebagai calon tetap perseorangan dalam Pemilu Anggota DPD dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari sejak tanggal putusan dibacakan.
Peran OSO
Pada faktanya, OSO sebagai pengadu pernah menerima surat Nomor 60/PL/01-SD/03/KPU/I/2019 Perihal Pelaksanaan Putusan Bawaslu, namun muatan dalam surat tersebut justru meminta OSO untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Ketua Umum Partai Hanura paling lambat tanggal 22 Januari 2019.
Sehingga muatan surat tersebut tidak sesuai dengan perintah pada Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018. Dalam konteks ini, putusan DKPP menyatakan bahwa KPU tidak terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik atas tindakan tidak mencantumkan OSO di dalam DCT meskipun berlainan dengan Amar Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018.
Keadaan ini menjelaskan efektivitas terhadap Putusan Bawaslu atas satu permohonan yang sama namun menghasilkan dua putusan dengan pendekatan yang berbeda satu sama lain yaitu putusan pelanggaran administrasi dan putusan sengketa proses pemilu yang saling berlainan sehingga menjadi anomali untuk dapat diterapkan.
Selain itu, tersedianya mekanisme untuk melakukan upaya hukum di ruang adjudikasi dalam proses peradilan yang panjang membuka potensi menghadirkan putusan yang tumpang tindih dan tidak membuahkan hasil yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
Ruang Gerak Bawaslu
Peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan kembali diuji dalam perkara Partai Kesatuan dan Peradilan Indonesia (PKPI). Sebelumnya, KPU melalui Surat Keputusan KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2019 yang tidak memasukan PKPI sebagai partai politik peserta Pemilu.
Sebab PKPI dinyatakan tidak memenuhi persyaratan kepengurusan 75% (tujuh puluh lima persen) kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 173 Ayat (2) huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. PKPI kemudian mengajukan gugatan ke Bawaslu, namun berdasarkan hasil pemeriksaan Bawaslu, PKPI gagal memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam pasal 173 Ayat (2) huruf c UU Pemilu tersebut. Dengan demikian Putusan Bawaslu tersebut menguatkan SK KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018.
Tidak terima dengan Putusan Bawaslu, PKPI mengajukan gugatan ke PTUN. Namun berbeda dengan Putusan Bawaslu, PTUN memenangkan PKPI, sehingga atas perintah PTUN, SK KPU RI Nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 harus dicabut dan KPU harus menerbitkan Surat Keputusan baru dengan memasukan PKPI sebagai partai politik peserta pemilu. Dengan demikian, perkara diakhiri dengan kewajiban KPU untuk tunduk pada putusan PTUN.
Tantangan Bawaslu
Berdasarkan gambaran kedua perkara tersebut di atas, maka dapat di lihat bahwa peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan sesungguhnya masih memiliki tantangan. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat terkait pelanggaran administrasi dan putusan sengketa proses pemilu, namun nyatanya tidak ada sifat imperative yang menjamin pelaksanaan putusan tersebut oleh KPU.