Jakarta, Suaranusantara.co – Dr. Fokky Fuad, dosen dan pengajar Pasca Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia saat diwawancara (15/07) lalu, mengungkapkan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi para pencipta, yang tidak dimintakan oleh pencipta kepada pemerintah.
“Ketika seseorang mencipta, ciptaannya harus diumumkan dan namanya dicantumkan pada ciptaan tersebut, sehingga menyebabkan pencipta memiliki hak eksklusif dengan sendirinya, dan terlindungi oleh hukum,” demikian ujar Dr. Fokky.
“Karena apabila tidak diumumkan maka pencipta tersebut tidak akan mendapatkan hak eksklusif, yakni hak yang hanya dimiliki oleh pemegang hak, yang selanjutnya ia bebas untuk menerapkan hak ciptanya. Pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta itu tanpa persetujuan dari pemegang hak cipta tersebut” lanjutnya.
Mengenai perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dilakukan adalah dengan mendaftarkannya. Yang termasuk HKI adalah hak cipta (copy right) dan Hak Kekayaan Indutri, termasuk diantaranya merk, paten, desain industri, dan invensi.
“Meskipun pada prinsipnya hak cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, dan tidak ada keharusan bagi Pencipta untuk mendaftarkan ciptaannya, namun ada baiknya untuk mendaftarkan, karena tercatat tanggalnya sebagai pencipta pertama,” ujarnya lagi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa apabila terjadi sengketa di pengadilan yang berkenaan dengan ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar, hakim dapat menentukan pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian pendaftaran.
“Sehingga demi kepentingan tersebut pendaftaran atas ciptaan dipandang perlu. Maka, pendaftaran atau pencatatan merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum hak cipta disamping adanya pengumuman pertama kali hasil karya cipta, walaupun pendaftaran hak cipta bukan merupakan keharusan,” ungkapnya sambil menunjukkan contoh sertifikat pendaftaran hak cipta melalui handphone.
Dikutip dari pernyataan Eddy Damian dalam bukunya yang berjudul “Hukum Hak Cipta” dikatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perlindungan hak cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) yang menggantikan aturan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
“Namun dalam penerapannya masih sangat diperlukan peran Negara dalam hal enforcement penegakan hukum untuk melindungi hak eksklusif ini. Kondisinya sampai saat ini sangat miris, karena seringkali terjadi dimana banyak pihak yang tidak bertanggungjawab terus-menerus melakukan pembajakan hasil karya pencipta, tapi tidak terdeteksi siapa yang melakukannya, sehingga pencipta kesulitan untuk menempuh jalur hukum untuk menuntut para pembajak semacam ini” ujarnya.
Hal ini juga disebabkan, antara lain oleh latar belakang kultur bangsa Indonesia yang bersifat kolektif, sehingga karya cipta seringkali dianggap milik bersama dalam komunitas masyarakat, sehingga karya pencipta sebagai kekayaan intelektual seringkali tidak nampak dengan jelas lagi sebagai buah karya individu. Dengan demikian hak cipta belum menjadi prioritas utama dan penting sebagaimana yang dipraktikkan di dunia barat. Masyarakat Eropa memandang karya individual sebagai karya cipta atau kekayaan intelektual yang sangat patut untuk diapresiasi, dan Negara atau pemerintah mereka mendukung penegakan hukum ini.
“Sayangnya, tidak semua orang mempunyai misi yang sama, sehingga berbagai kasus pelanggaran hak cipta yang menimbulkan permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia hingga saat ini masih banyak terjadi,” katanya lagi.
“Sementara, teknologi digital begitu pesat dan sangat mempengaruhi perkembangan seni dan sastra. Sehingga dibutuhkan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dan peningkatan perlindungan bagi pencipta, pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait, dengan tetap memperhatikan kepentingan publik,” pungkasnya.