Saat bersamaan, Sekertaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto mengungkapkan, sejatinya peremajaan sawit adalah upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas. Selain itu untuk memperkuat aspek sustainability kelapa sawit Indonesia dengan memaksimalkan existing plantation melalui peningkatan yield dan mencegah pembukaan lahan baru/ deforestasi.
Menurut Darto, hingga saat ini syarat telah disederhanakan dari 16 syarat menjadi 12 syarat. Penyederhanaan ini dilakukan untuk mempermudah menerima dana bantuan BPDP-KS.
Meskipun demikian, Darto menegaskan masih ada yang perlu dikritisi. Target PSR dari tahun 2017 sampai 2022 sangat besar yaitu 725 ribu hektar dan itu sulit direalisasikan.
“Dari sisi capaian dan target belum berhasil. Padahal sudah melibatkan banyak lembaga surveyor,” tegasnya.
Hal ini terjadi karena sebenarnya petani masih banyak yang belum memahami program PSR. Dampaknya, mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program.
Selain itu, saat ini petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak ada kelembagaan tani.
“Pendampingan kurang memadai karena SDM dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten/ dinas. Belum ada real data misalnya siapa, dimana, jenis lahan, dan tahun tanam berapa, di level pemerintah. Lantas, beberapa pendamping desa untuk PSR; tidak dibayar, termasuk luas lahan hanya skala kecil sekitar 2 ha, jika di remajakan akan hilang pendapatan petani,” katanya.
Untuk itu, Darto meminta agar, adanya penambahan dana PSR dari 30 juta per hektare menjadi 50 juta per hectare untuk menghindari piutang ke bank, kemudian pengadaan dana pra-kondisi PSR untuk petani swadaya murni.
Ia menambahkan agar pengelolahan dana BPDP-KS dilimpahkan ke Kabupaten atau provinsi bukan di Jakarta.