Jakarta, Suaranusantara.co – Ahli pidana, Agus Surono, hadir di persidangan dalam perkara obstruction of justice pembunuhan Brigadir J pada Kamis (19/2/2023). Sebagaimana penjelasan Tim Penasihat hukum Hendra dan Agus, Ragahdo Yosodiningrat, ada 4 ahli yang hadir. Mereka terdiri dari ahli pidana, ahli pidana forensik dan ahli bahasa, yakni Guru Besar ilmu hukum Universitas Pancasila Prof Agus Surono, ahli linguistik forensik Prof Dr Andika Duta Bachari dan ahli bahasa dari Universitas Indonesia Dr Frans Asisi, dan ahli hukum pidana forensik Dr Robintan Sulaiman
Kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir J menyeret 7 Terdakwa, yakni Ferdy Sambo, Arif Rachman Arifin, Irfan Widyanto, Agus Nurpatria, Hendra Kurniawan, Chuck Putranto, dan Baiquni Wibowo karena berupaya menghalangi penyidikan. Mereka didakwa telah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 dan Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE, dan dijerat dengan Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan Pasal 233 KUHP.
Unsur Kesengajaan UU ITE
Guru Besar Universitas Pancasila Prof Agus Surono menyebutkan beberapa point penting, salah satunya adalah unsur kesengajaan dalam Pasal 32 dan 33 UU ITE. Agus menjelaskan bahwa unsur kesengajaan dalam Pasal 32 dan 33 UU ITE harus dilakukan dengan cara melawan hukum ataupun tanpa hak.
Menurutnya, bawahan yang diperintah atasannya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban di sebuah kasus pidana. Pernyataan ini bermula ketika pengacara Henry Yosodiningrat bertanya mengenai apakah pelaku yang melaksanakan perintah atasan bisa dihukum jika mengacu pada Pasal 51 Ayat 1 KUHP kepada ahli Agus Surono.
Pakar pidana selaku ahli ini kemudian menerangkan nahwa subtansi Pasal 51 Ayat 1 KUHP yang tidak diterapkan jika, pertama, ada perintah atasan yang berwenang dan memang memiliki kewenangan untuk itu. Kemudian, perintah itu diberikan kepada bawahannya. Apabila bawahan sudah melaksanakan perintah itu sesuai apa yang diperintahkan atasannya, maka konsekuensi perbuatan yang dilakukan bawahan dibenarkan secara hukum.
“Artinya kalau dibenarkan secara hukum berarti unsur melawan hukumnya ini dihapuskan. Kalau tidak ada unsur melawan hukumnya, yang merupakan unsur esensi di dalam suatu pertanggungjawaban pidana tidak ada, tentu ini tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujar Agus.
Selepas itu, Henry membacakan isi Pasal 51 Ayat 1 KUHP, yakni ‘Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berwenang tidak dipidana‘.(Red/CBN)