Labuan Bajo, suaranusantara.co – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ilmu yang dinahkodai oleh Dionisius Parera menyebut Polisi resort (Polres) Manggarai Barat “bermuka dua”, tidak kompak dan menyulitkan masyarakat setelah didemo oleh Dua kelompok masyarakat adat dari Golo Mori, desa Golo Mori kecamatan Komodo dan masyarakat adat Mbehal, desa Tanjung Boleng kecamatan Boleng terkait persoalan warga masyarakat adat yang sedang dan akan ditahan Polisi pada Selasa 4/11/2025, lima hari lalu.
Aksi demonstrasi tersebut dilakukan terkait persoalan perusakan alam, Daerah Aliran Sungai (DAS) dan masyarakat adat Mbehal, desa Tanjung Boleng kecamatan Boleng terkait persoalan warga masyarakat adat yang sedang mendekam dalam ruangan tahanan Polres Manggarai Barat.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dionisius Parera yang lazim dipanggil Doni itu menuturkan bahwa kedua kelompok masyarakat adat ini melakukan aksi dengan tuntutan tang berbeda.
“Masyarakat adat Golo Mori, membawa persoalan perusakan alam, daerah aliran sungai (DAS) di desa mereka yang dirusakkan oleh operasi galian C sebuah perusahaan yang diduga kuat adalah milik ipar dari wakil Bupati Mabar. Sementara masyarakat adat Mbehal membawa persoalan warga masyarakat adat yang masih mendekam di Ruangan tahanan sampai saat ini,” beber Doni dalam percakapan via telepon dengan suaranusantara.co pada Minggu 9/11/2025 siang.
Pihaknya (Doni) menjelaskan bahwa Kedua kelompok masyarakat adat ini mengalami satu persoalan yang sama, yaitu dikriminalisasi oleh Aparat Penegak hukum Polres Mabar.
“Masyarakat merasa polisi jalankan agenda pemesan kasus untuk menakut-nakuti, menangkap dan memenjarakan salah seorang warga adat atas nama Gabriel Jahang yang tinggal di Kampung Merot,” lanjut Doni
“Sedangkan masyarakat adat Golo Mori merasa heran, ketika mereka protes atas beroperasinya perusahaan galian C yang merusak alam, dan tanpa ada persetujuan dari mereka, mereka malah dipanggil oleh Polres Mabar untuk diperiksa,” tandas Doni
Dengan nada geram bercampur kesal atas kinerja penegakan hukum yang dinilai tidak mengayomi dan melindungi masyarakat lantas ia bertanya mengapa masyarakat yang harus jadi korban?
“Kenapa bukan perusahaan perusak alam yang beroperasi tanpa persetujuan warga yang dipanggil untuk diperiksa dan hentikan perusakan alam? Mengapa masyarakat adat yang menjaga alam warisan leluhurnya justru diproses Polisi?,” tanya Doni dalam percakapan itu.
Tidak hanya masyarakat Golo Mori yang jadi korban dari aparat kepolisian yang mengatasnamakan penegakan hukum, tetapi warga adat Mbehal pun mengalami hal serupa.
“Masyarakat adat Mbehal juga merasa mereka sedang dikriminalisasi Polisi berdasarkan pesanan mafia tanah karena kejanggalan kasus yang mereka hadapi.
Sebelumnya, mereka didekati oleh pemilik modal yang ingin membeli lahan mereka d lengkong warang desa Tanjung Boleng. Mereka menolak,” pungkas Doni mengulang pernyataan yang disampaikannya saat orasi dihadapan sejumlah aparat Kepolisian Selasa lalu.
Meskipun Doni telah mengutarakan banyak hal dihadapan kepolisian terkait peristiwa yang terjadi di Lengkong Warang, namun pihak kepolisian abaikan semua fakta-fakta yang terjadi di TKP dan cendrung membenarkan keterangan dari pihak yang melaporkan ulayat Mbehal.
“Lahan itu memang indah, dataran luas yang masih ada satwa liar, rusa dll, dekat dengan muara sungai yang masih ada biaya liar, dan menyatu dengan obyek wisata Gua Rangko yang terkenal itu.
Beberapa bulan setelah penolakan itu, masyarakat adat Rareng turun untuk bagikan lahan di Lengkong warang. Di lokasi, mereka bertemu dengan warga adat Mbehal. Beruntung, mereka bertemu karena di lokasi sudah ada TNI, POLISI dan Kesbangpol Mabar. Bentrokan dapat dihindarkan, dan ada kesepakatan untuk selesaikan secara baik-baik oleh TNI,” ujar Doni
Mirisnya lagi kata dia, sebulan kemudian, ada Laporan Polisi yang masuk, dan dengan gesit satu orang masyarakat adat dijadikan tersangka oleh Polisi. Polisi juga memanggil dan memeriksa masyarakat adat Mbehal atas laporan tahun 2023. Atas dugaan kriminalisasi ini masyarakat Protes kepada Polisi.
Lantaran fakta ini, Doni menilai Polisi “bermuka dua”, Seperti tidak kompak, berbelit dan berbohong kepada masyarakat adat saat melakukan konsolidasi setelah berlangsungnya aksi demonstrasi.
Sehari sebelum berlangsungnya aksi demo, ia juga mendapat informasi dari bagian Intel yang mengatakan bahwa saat ini tidak ada Kapolres dan Wakapolres, sehingga besok tidak dapat ditemui saat aksi demo.
Faktanya, keesokan harinya, diketahui Kapolres ada di tempat, hanya saja sedang telekonferensi, dan Wakapolres kemudian bersedia untuk ditemui untuk dialog dalam ruangannya.
Dalam dialog itu, Polisi bingung karena merasa tak pernah memanggil masyarakat adat Golo Mori untuk diperiksa terkait galian C.
“Belakangan dalam perjalanan pulang ketika selesai dialog, baru didekati oleh seorang petugas kepolisian yang tangani Tindak pidana tertentu, bahwa merekalah yang memanggil masyarakat adat untuk diperiksa, atas dugaan halangi operasi perusahaan tambang yang beroperasi legal,” pungkas Doni dengan ceplos
Meskipun dirinya selalu terhibur oleh ungkapan dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Polisi sudah bertindak sesuai prosedur, namun banyak pertanyaan dalam dialog yang tak dapat mereka jawab, yang kemudian mesti ditengahi oleh Wakapolres.
Sampai saat ini masih terngiang dalam ingatan ketua LSM itu janji-janji manis Waka Polres untuk mengabulkan permohonan untuk membebaskan warga Mbehal dari tahanan yang dilontarkannya saat berdialog langsung dengan kedua kelompok masyarakat itu.
“Ada janji dari Pimpinan Polisi, bahwa pengajuan penangguhan penahanan terhadap masyarkat adat akan dikabulkan.
Sampai sekarang tidak terbukti. Yang terjadi malah kemudian di BAP ulang untuk mencari cari unsur pidana ,yang sudah beberapa kali ditolak oleh jaksa ketika diajukan,” paparnya sembari mengharapkan jawaban pasti dari waka Polres.
Ada beberapa organisasi yang terlibat langsung dalam aksi demonstrasi itu yaitu JPIC SVD Ruteng, dan sejumlah masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat itu Adat Manggarai Barat.
Dalam demo itu, Masyarakat adat membawa Atribut berupa spanduk yang berisikan pesan kepada Polisi “TUGAS POLISI ADALAH MELAYANI, MENGAYOMI DAN MELINDUNGI MASYARAKAT, BUKAN MELAYANI, MENGAYOMI DAN MELINDUNGI MAFIA. Pesan lainnya, PROPAM segera periksa KASAT RESKRIM POLRES MABAR,” tulis masyarakat pada atribut itu.
Masyarakat berharap agar kasus dan pesan-pesan ini bisa membuat Polisi mau berbenah di tengah gencarnya tuntutan publik untuk mereformasi institusi kepolisian.
Dalam rangka mendapatkan keberimbangan informasi, awak media ini telah mengkonfirmasi institusi Polres Manggarai Barat melalui Kepala seksi humas, Hary Suryana pada Sabtu, 19/11/2025 pkl 19.33 Wita.
Konfirmasi itu disampaikan melalui pesan whatsap, isinya terkait dua hal yakni terkait upaya Polres untuk membebaskan Gabriel Jahang yang didesak oleh warga termasuk istri tahanan saat demo dan meminta informasi terkait janji Waka Polres saat konsolidasi yang belum direalisasi sampai saat ini.
Dari dua hal yang disampaikan awak media dalam konfirmasi itu tidak dijawabnya secara detail sesuai yang ditanyakan.
Pihaknya malah meminta wartawan untuk menyebutkan identitas informan yang disebutkan pada poin dua (2).
“Trms, pada point 2 yang om info mohon disampaikan identitasnya,” tulis Hary dalam pesan Whatsap nya.
Setelah disebutkan identitas informan itu, ia (Hary) menjawab “Minta tolong beliau konfirmasi selanjutnya bro, utk sementara rekan kami dari sat reskrim sedang lidik dan sidik,” balas Kasi Humas dengan mengulang jawaban seperti yang pernah diberitakan sebelumnya oleh awak media ini.
Awak media ini kembali menghubunginya untuk meminta nomor handphone Waka Polres hendak menanyakan perihal janjinya untuk membebaskan warga Mbehal yang ditahan itu pada hari Minggu 9/11/2025
Ia (Hary) menjawab “Untuk giat apa,” tulisnya singkat
Kemudian wartawan menjawab untuk mengkonfirmasi soal janji beliau saat konsolidasi dengan masyarakat yang demo itu.
Lalu ia menjawab “Ada anggotanya bro,”
“Beliau lagi berduka, bapaknya meninggal dunia. ite mau tlp?,” sambungnya.
Karena diinformasikan bahwa Waka Polres lagi berduka maka wartawan kembali mengirim pesan bahwa nomor itu dibutuhkan hanya untuk meninggalkan pesan saja.
Lalu Kasi Hary menjawab “Pak ini tidak punya hati sebagai manusia,” tulisnya dengan narasi seolah kesal ketika media ini meminta nomor handphone pimpinannya.










































































