Jakarta, Suaranusantara.co – Puluhan pesakitan itu meronta tak kuat melawan panasnya jilatan api. Mereka tak punya akses untuk memanggil pertolongan. Upaya menyelamatkan diri sia-sia karena tembok dingin penjara tak bisa dibobol demi menyelamatkan diri.
Kebakaran Lapas Tangerang yang terjadi pada Rabu (8/9/2021) dini hari menyingkap banyak tabir. Mengapa 41 napi harus tewas terpanggang hidup-hidup. Jumlah korban tewas bertambah seiring waktu, total kini mencapai 44 orang.
Petugas jaga yang berjumlah satu orang tak mampu memonitor situasi Blok C2, titik di mana sumber api berasal. Puluhan napi tewas karena tak kesulitan mengevakuasi diri menuju pintu yang dibuka petugas.
Mereka kalah gesit dengan napi-napi yang berada di paviliun sebelah. Situasi kalut tak terelakan. Panik. Sementara api merambat cepat dalam ruang yang tertutup.
Pihak lapas beralasan overkapasitas menyulitkan korban tewas menembus akses untuk menyelamatkan diri. Pagi harinya, Menkumham Yasonna Laoly langsung meninjau lokasi kebakaran.
Dia mengungkapkan hal yang sama, overkapasitas membuat lapas tak lagi kuat untuk menampung penghuni. Singkatnya, jalur evakuasi terbatas dan banyak pintu harus digembok mengikuti prosedur.
Menkumham memilih sibuk mendata korban dan menyiapkan santunan. Seluruh biaya pemakaman ditanggung pemerintah. Keluarga korban ikhlas menerima kondisi dan berbagi kisah kenangan terakhir dengan napi ketika diwawancarai media.
Yasonna menyebutkan kebakaran terjadi pukul 01.45 WIB. Dalam tempo 13 menit sebanyak 12 unit damkar tiba di lokasi untuk memadamkan api. Namun kedatangan mereka tak mampu menyelamatkan korban tewas dan tidak sedikit korban selamat menderita luka-luka.
Napi yang mengalami luka berat dan luka ringan dilarikan ke RSUD Tangerang dan RSUP Sitanala. Menjalani perawatan hingga kondisi dinyatakan membaik secara medis. Pada tahap ini terjadi penambahan korban tewas.
Lapas Tangerang dihuni sebanyak 2.072 napi. Melebihi kapasitas normal yang hanya mampu menampung 600 orang. Lapas ini telah berdiri sejak 1972. Selama itu pula instalasi listrik tidak pernah diperbaiki.
Belakangan polisi menemukan adanya unsur pidana dalam peristiwa ini. Kuat dugaan terjadinya kelalaian yang mengakibatkan arus pendek hingga memicu kebakaran. Artinya bakal ada tersangka yang dimintai pertanggungjawaban.
Polisi fokus memeriksa saksi-saksi dalam menyelidiki kasus ini. Ada tiga klaster yang terbagi yaitu, klaster petugas, penghuni lapas dan masyarakat sekitar. Tak berlebihan nampaknya menjadikan kasus ini momentum untik memperbaiki tata kelola lapas.
Penghuni lapas mayoritas berasal dari perkara narkotika. Blok C2 dihuni ratusan napi narkotika kendati seorang napi teroris yang ditempatkan di sana turut tewas bersama puluhan napi lainnya.
Potret ini menambah buram kondisi lapas. Namun politisi lebih tertarik menggoyang kursi menteri. Tidak melihat peristiwa ini merupakan buntut dari karut-marutnya sistem hukum di Tanah Air. Menkumham pun tak berbuat banyak, setidaknya untuk mendorong solusi mengatasi persoalan klasik ini.
Pengelolaan lapas berkaitan dengan sistem hukum pidana. Peran pemerintah bersama DPR vital dalam hal ini. Bagaimana memastikan lapas melaksanakan konsep pemasyarakatan, tak lagi pemenjaraan ala kolonial. Namun pada tataran teknis fasilitas yang tersedia tidak memanusiakan penghuni lapas.
Perubahan konsep tidak dilaksanakan konsisten di lapangan. Perubahan paradigma konsep pemasyarakatan membutuhkan perbaikan fasilitas dengan biaya tidak secuil. Belum lagi faktor esensial lainnya. Sebab penjara bagian dari sistem hukum peradilan pidana.
Sejak lama perkara narkoba menjadi momok bagi lapas kendati terdapat ketentuan pengguna harus direhab. Rupanya rehabilitasi merupakan fasilitas eksklusif bagi pecandu narkoba. Tidak semua pecandu menerima kemewahan ini dan mereka harus mendekam di lapas menjalani masa pidana.
Pemeo orang jujur membuat lapas penuh sudah usang. Karena bagi mereka yang mendekam dalam penjara terdapat sabda abadi yang berbunyi, tak semua orang jahat berada di penjara dan tak semua orang baik berada di luar penjara.
Tak perlu berbicara HAM hingga mulut berbusa untuk menjelaskan kondisi lapas. Apalagi mengernyitkan dahi karena membaca berita peredaran narkoba di Indonesia dikendalikan dari lapas. Politisi tidak mau mencari solusi karena APBN yang tersedia lebih baik dialokasikan pada sektor lain.
Pengelolaan lapas butuh political will yang kuat. Sekuat argumen politisi mengistimewakan eks napi korupsi untuk turut berkontestasi menjadi kepala daerah. Sementara mereka yang tinggal dalam lapas, harus tewas terpanggang karena urusan nyawa dalam penjara, tak cukup seksi dibahas parlemen.