Penulis: Anna Saraswati, FH UAI
Jakarta, Suaranusantara.co – Webinar di bidang hukum tentang pembuktian dalam persidangan dipaparkan oleh Dr. Anis Rifai, dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia. Dalam konteks hukum, persidangan adalah sidang-sidang yang dilakukan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang diajukan kepada lembaga peradilan.
Pembuktian dalam persidangan merupakan proses penggunaan, penyajian, dan mempertahankan alat bukti dalam hukum acara. Pembuktian bertujuan untuk memperkuat kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim dapat menjatuhkan keputusan yang pasti dan definitif.
Dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Kasus Pidana
Contoh kasus pidana yang menarik adalah Kasus Kemat, Devid Eko Priyanto, dan Maman Sugianto, Korban Salah Tangkap di Jombang (Ryan Jombang). Majelis hakim tetap menjatuhkan vonis pada Kemat dan Devid. Kemat dihukum 17 tahun penjara, sedangkan Devid 12 tahun. Kebenaran mulai terungkap tatkala Ryan memberikan keterangan kepada polisi, tak lama setelah ia diringkus. Ia mengaku bahwa dirinyalah yang membunuh Aldo. Alasan Ryan menghabisi Aldo: Ryan tersinggung karena Aldo, yang dianggapnya jelek, mengajaknya kencan. Plus, Aldo menyebut Ryan “seperti kucing”—entah apa maksudnya. Bagi Devid dan Kemat, kabar dari Ryan adalah titik terang dan bukti bahwa mereka benar-benar tak bersalah—kendati keduanya harus mengajukan Peninjauan Kembali (PK) agar vonisnya bisa dianulir. Di sisi lain, keterangan Ryan jadi tamparan keras bagi kinerja polisi.
Kasus pidana lainnya yang menarik adalah Kasus Kopi Sianida yang menjerat Jessica Kumala Wongso. Jessica dihukum 20 tahun penjara berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 498 K/PID/2017 tanggal 21 Juni 2017. Dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. Pada 18 Agustus 2024, Jessica mendapat pembebasan bersyarat. Dia bebas bersyarat usai mendapat remisi 58 bulan 30 hari. Jessica masih dikenai wajib lapor hingga tahun 2032
Pembuktian dalam Perkara Pidana
Dalam hukum acara pidana, pembuktian merupakan bagian penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Terdapat perbedaan pembuktian di dalam perkara pidana yang berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Hal ini disebabkan karena pembuktian perkara pidana adalah tujuan untuk mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau sesungguhnya. Hakim pidana dalam mencari kebenaran material, maka peristiwanya harus terbukti.
Barang bukti bukanlah alat bukti, tetapi barang bukti dapat menjadi sumber dari alat bukti. Alat-alat bukti merupakan alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah adalah: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Di dalam hukum acara pidana, Keterangan Terdakwa bertujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum.
1. Pemeriksaan Saksi
Berdasarkan Pasal 185 KUHAP (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sementara menurut ketentuan Pasal 159 KUHAP menjadi saksi merupakan kewajiban hukum. Sebelum menyampaikan kesaksian atau keterangannya, seorang saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji, kecuali Pasal 171 KUHAP) yang melarang anak yang belum berumur 15 tahun dan belum pernah kawin dan orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana dalam ketentuan Pasal 224 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan dalam perkara pidana, dan pidana penjara paling lama 6 bulan dalam perkara lain.
2. Keterangan Ahli
KUHAP hanya mengenal istilah “ahli” untuk menjelaskan subjek yang dapat memberikan keterangan di persidangan selain “saksi”. Keterangannya disebut “keterangan ahli” dan menjadi alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 183, pasal 184 dan pasal 186 KUHAP.
Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa hakim dilarang menjatuhkan pidana kecuali terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan meyakinkan bahwa terjadi tindak pidana dan benar terdakwa yang bersalah melakukannya (negatief-wettelijk bewijsstelsel). Sedangkan alat buktinya terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).
K.eterangan ahli akan selalu berkenaan dengan pengetahuan yang lahir dari keilmuan maupun pengalaman yang dimiliki ahli. Jadi, keterangan ahli tidak akan terhubung langsung dengan fakta kasus, namun diperlukan untuk memahami kaidah logis yang bekerja melingkupi fakta tersebut, menguji apakah fakta tersebut koheren atau malahan berlawanan dengan suatu norma, teori atau konsep.
3. Surat Sebagai Alat Bukti
Dalam webinar ini, pembicara juga menerangkan tentang surat yang dapat menjadi alat bukti dalam persidangan perkara pidana, yakni:
- Berita acara, misalnya berita acara yang dibuat oleh penyidik
- Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya
- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
- Surat keterangan dari seorang ahli
- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain
Surat resmi atau surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan alat bukti surat yang sempurna. Sementara itu, surat biasa memiliki nilai pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat bukti sah lain. Dalam perkara pidana, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam persidangan perkara pidana, Visum et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik untuk mendokumentasikan hasil pemeriksaan terhadap korban. Laporan ini merupakan hasil dari pemeriksaan forensik dan pemeriksaan medis rutin. Di mata hukum, fungsi visum et repertum adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah. Terkait pembuatannya, visum hanya dapat dibuat dan diterbitkan dengan adanya permintaan dari penyidik.
4. Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 KUHAP, pengertian Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Keterangan saksi, Surat, dan Keterangan Terdakwa.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 KUHAP mengatur bahwa Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.