Jakarta, Suaranusantara.co – Teori Perjanjian menyatakan bahwa kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni zaman sebelum ada negara serta zaman sesudahnya. Keadaan tidak bernegara (pranegara) di sebut keadaan alamiah. Pada saat ini individu hidup tanpa organisasi serta pimpinan, tanpa hukum, dan tanpa negara serta pemerintah yang mengatur hidup mereka. Keadaan alamiah itu harus di akhiri dengan jalan mengadakan perjanjian bersama. Maka terbentuklah negara melalui suatu perjanjian saat individu-individu menjadi pesertanya.
Teori ini lahir berdasarkan anggapan bahwa sebelum ada negara, manusia hidup sendiri-sendiri dan berpindah-pindah. Pada waktu itu belum ada masyarakat dan peraturan yang mengaturnya sehingga kekacauan mudah terjadi di mana pun dan kapan pun. Tanpa peraturan, kehidupan manusia tidak berbeda dengan cara hidup binatang buas, sebagaimana ilustrasi Thomas Hobbes, “homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes”.
Teori Perjanjian
Teori perjanjian masyarakat sebagaiman tergambar dalam buku Leviathan. Ketakutan akan kehidupan berciri Survival of The Fittest itulah yang menyadarkan manusia akan kebutuhannya. Negara yang diperintah oleh seorang raja yang dapat menghapus rasa takut. Demikianlah akal sehat manusia telah membimbing dambaan suatu kehidupan yang tertib dan tenteram. Maka, muncullah perjanjian masyarakat (contract social). Perjanjian antar kelompok manusia yang melahirkan negara dan perjanjian itu sendiri disebut pactum unionis.
Bersamaan dengan itu terjadi pula perjanjian yang disebut pactum subiectionis, yaitu perjanjian anta rkelompok manusia dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis. Isi pactum subiectionis adalah pernyataan penyerahan hak-hak alami kepada penguasa dan berjanji akan taat kepadanya.
Penganut teori perjanjian antara lain:
- Grotius (1583-1645)
- John Locke (1632-1704)
- Immanuel Kant (1724-1804)
- Thomas Hobbes (1588-1679)
- J.J. Rousseau (1712-1778)
Negara dan Konstitusi
Ketika menyusun teorinya itu, Thomas Hobbes berpihak kepada Raja Charles I yang sedang berseteru dengan parlemen. Teorinya itu kemudian digunakan untuk memperkuat kedudukan raja. Maka ia hanya mengakui pactum subiectionis, yaitu pactum yang menyatakan penyerahan seluruh haknya kepada penguasa dan hak yang sudah diserahkan itu tak dapat diminta kembali.
Sehubungan dengan itulah Thomas Hobbes menegaskan bahwa idealnya negara seharusnya berbentuk kerajaan mutlak atau absolut. John Locke menyusun teori perjanjian masyarakat dalam bukunya two treaties on civil government bersamaan dengan tumbuh kembangnya kaum borjuis (golongan menengah) yang menghendaki perlindungan penguasa atas mereka dan kepentingannya.
Maka John Locke mendalilkan bahwa dalam pactum subiectionis tidak semua hak manusia diserahkan kepada raja. Seharusnya ada beberapa hak tertentu (dari alam) tetap melekat padanya. Hak yang tidak diserahkan itu adalah hak azasi manusia yang terdiri: hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Hak-hak itu harus dijamin raja dalam UUD negara. Menurut John Locke, negara sebaiknya berbentuk kerajaan yang berundang-undang dasar atau monarki konstitusional. J.J. Rousseau dalam bukunya du contract social berpendapat bahwa setelah menerima mandat dari rakyat, penguasa mengembalikan hak-hak rakyat dalam bentuk hak warga negara (civil rights). Ia juga menyatakan bahwa negara yang terbentuk oleh perjanjian masyarakat harus menjamin kebebasan dan persamaan.
Penguasa sekedar wakil rakyat, terbentuk berdasarkan kehendak rakyat (volonte general). Maka, apabila tidak mampu menjamin kebebasan dan persamaan, penguasa itu dapat berganti. Mengenai kebenaran tentang terbentuknya negara oleh perjanjian masyarakat itu, para penyusun teorinya sendiri berbeda pendapat. Grotius menganggap bahwa perjanjian masyarakat adalah kenyataan sejarah. Sedangkan Hobbes, Locke, Kant, dan Rousseau menganggapnya sekadar khayalan logis.