Sulsel, Suaranusantara.co – Suku Bugis di Sulawesi Selatan memiliki adat dan budaya tersendiri. Salah satunya adalah Sigajang Laleng Lipa, yaitu ritual menyelesaikan masalah antara dua orang pria yang mewakili keluarga. Mereka berada dalam sebuah sarung dan menggunakan badik atau pisau untuk menikam satu sama lain.
Menariknya, hasil duel ini kebanyakan berakhir seimbang. Kalau tidak sama-sama meninggal, keduanya sama-sama masih hidup meski dalam kondisi sekarat karena tikaman.
Ritual Sigajang Laleng Lipa telah ada sejak masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu jika ada dua keluarga yang berseteru. Adu kekuatan merupakan penyelesaian terakhir ketika musyawarah tidak menghasilkan kata mufakat.
Apabila ada keluarga yang merasa harga diri mereka terinjak, pertarungan ini akan berlangsung, supaya segala permasalahan segera diselesaikan dan perselisihan tidak berlanjut.
Setelah ritual selesai, kedua belah pihak harus sama-sama melapangkan dada. Tidak ada lagi perseteruan yang menyebabkan keributan lagi.
Ritual Simbol Persatuan Keluarga dan Harga Diri
Prosesi ritual ini merupakan pertandingan dua orang yang saling mengadu kekuatan, mewakili pihak keluarga masing-masing. Mereka berduel dalam sarung dan menggunakan badik atau pisau untuk saling menikam.
Mereka mempertaruhkan nyawa demi kehormatan keluarga masing-masing. Namun setelahnya masing-masing pihak tidak boleh lagi menyimpan dendam dan amarah. Bahkan kedua belah pihak akan menganggap perkara sudah selesai.
Nilai ritual duel dalam satu sarung ini memiliki makna kebersamaan. Sarung merupakan simbol persatuan masyarakat Bugis Makassar. Berada dalam satu sarung berarti masyarakat Bugis berada dalam satu kesatuan. Sarung yang mengikat tidak menjerat mereka, tetapi menjadi sebuah ikatan kebersamaan antara masyarakat.
Jadi Pementarasan Seni Tari
Seiring perkembangan zaman, suku Bugis mulai meninggalkan ritual ini. Namun masyarakat masih dapat menyaksikan tradisi baku badik untuk mengadu nyawa dalam sarung sekarang lewat pementasan seni tari di atas panggung.
Dalam pementasan biasanya ada aksi bakar diri meski lengan para penari d ibakar dengan obor namun mereka tetap tersenyum seolah tak merasakan panas sengatan api. Setelah itu tua-tua adat memberi mantra dan penari mementaskan ritual Sigajang Laleng Lipa.
Ritual tradisional ini tetap dipertahankan dalam bentuk seni tari untuk menghormati budaya warisan leluhur nenek moyang suku Bugis.