Penulis: Anna Saraswati, FH UAI
Jakarta, Suaranusantara.co – Pamela Ronald dan hasil penelitiannya menjadi salah satu topik pembahasan dalam perkuliahan Hukum Rekayasa Genetika di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia bersama tim dosen pengampu Dr. Fokky Fuad dan Dr. Heriyono Tardjono.
Proses perkembangan zaman meliputi berbagai aspek mulai dari aspek ekonomi, sosial budaya politik dll, yang diantaranya menimbulkan permasalahan yaitu muculnya kebutuhan asupan makanan yang menjadi latar belakang munculnya produk-produk rekayasa genetika.
Genetical Modified Organism (GMO) atau rekayasa genetika terbilang hal baru di Indonesia, dan telah diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Dengan berlakunya peraturan ini maka hal-hal terkait rekayasa genetika sudah memilikin aturan hukum. Regulasi ini bertujuan untuk menghindari akibat pemanfaatan rekayasa genetika dan menghindari risiko yang membahayakan kesehatan manusia akibat adanya kandungan rekayasa genetika.
Pamela Ronald, ahli genetika tanaman, memaparkan materi tentang bagaimana rekayasa genetika dapat melawan penyakit, mengurangi penggunaan insektisida, dan meningkatkan ketahanan pangan, sesuai bidang studinya. Ia memperkenalkan suaminya, Raoul, yang berprofesi sebagai petani organik, dan menegaskan bahwa meski berbeda berprofesi namun mereka bisa saling sepakat. Hal ini karena memiliki tujuan yang sama, yakni ingin membantu memenuhi kebutuhan gizi populasi manusia yang terus bertambah tanpa merusak lingkungan lebih jauh.
Menurutnya, perbaikan genetik pada tanaman bukan hal baru, dengan memberikan contoh jagung yang memiliki cangkang yang sangat keras sehingga sulit dikunyah, pisang yang berbiji besar, dan kubis. Para pemulia di masa lalu telah menggunakan berbagai macam teknik genetika, dan sekarang ada lebih banyak pilihan yang diantaranya sangat tepat.
Kasus Golden Rice
Kasus pertama, adalah tentang padi, yang merupakan makanan pokok bagi setengah populasi dunia. Setiap tahunnya, 40% panen padi hilang akibat hama dan penyakit sehingga petani mencari varietas yang membawa gen ketahanan. Pamela memulai penelitian, dan mengisolasi gen XA21, yang berhasil membuat padi tahan terhadap infeksi bakteri, lalu merekayasa ke dalam tanaman. Setelah mempublikasikan penelitian ini, Pamela didekati oleh rekannya, Dave Mackill, yang sedang meneliti teknik bagaimana membuat padi bisa menjadi lebih tahan menghadapi banjir.
Dari hasil penelitian, diketahui padi tumbuh subur di genangan air, tapi sebagian besar varietas padi mati jika terendam lebih dari 3 hari. Banjir adalah masalah seiring perubahan iklim, dan 70 juta petani mengalami kesulitan menanam padi karena sawah mereka tergenang air, dan pendapatan mereka hanya sekitar 2 USD sehari.
Pamela dan Dave melanjutkan penelitian bersama Kenong Xu, untuk mengidentifikasi dan mengisolasi gen untuk membantu petani. Mereka menemukan gen Sub1, yang dalam uji rumah kaca, padi yang direkayasa dengan Sub1 mampu bertahan hidup saat banjir selama 18 hari, dan padi standar mati. Temuan ini menunjukkan ketahanan padi yang lebih lama dibandingkan varietas baru pembawa gen dengan teknik pembiakan presisi yang dikembangkan oleh Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). Varietas IRRI dan varietas konvensional awalnya tumbuh baik tapi layu setelah 17 hari terendam, sementara padi gen Sub1 tumbuh subur dan menghasilkan gabah 3x lebih banyak daripada varietas konvensional.
Berkat dukungan Yayasan Bill & Melinda Gates, 3,5 juta petani berhasil menanam padi Sub1. Banyak orang tidak keberatan dengan modifikasi genetika padi. Namun banyak yang heran mengapa ilmuwan mau mengambil gen dari virus dan bakteri dan memasukkannya ke tanaman. Padahal, menurut Pamela, rekayasa genetika adalah teknologi yang paling aman, paling murah, dan paling efektif untuk memajukan pertanian berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan pangan.
Kasus GMO Lainnya
Kasus lainnya adalah pepaya di Pulau Oahu di Hawaii di tahun 1990’an yang terserang virus. Banyak yang mengira pepaya Hawaii akan punah, namun ahli patologi tanaman, Dennis Gonsalves memiliki ide menyambung DNA virus ke genom pepaya, dan ia berhasil. Rekayasa genetik membuat pepaya menjadi kebal terhadap virus. Karya perintis ini menyelamatkan industri pepaya, dan tidak ada metode lain hingga 20 tahun setelahnya. Hingga kini teknik tersebut digunakan untuk merekayasa 80% pepaya Hawaii.
Kasus berikutnya adalah hama ulat yang merusak terong. Untuk mengendalikan hama, petani menyemprotkan insektisida 2-3x seminggu, bahkan 2x sehari, yang tentunya mengancam kesehatan akibat paparan dan penyalahgunaan insektisida. Diperkirakan 300.000 orang meninggal setiap tahunnya. Sementara suami Pamela biasanya menggunakan semprotan Bt, yang tidak terlalu beracun dan sangat spesifik untuk menanggulangi ulat, dan aman bagi manusia, burung, dan hewan lain. Namun Bt terlalu mahal dan sulit ditemukan bagi petani di Bangladesh. Sehingga para ilmuwan melakukan rekayasa genetik dengan memotong gen Bt dari bakteri dan memasukkannya ke genom terong. Teknik ini digunakan musim lalu dan berhasil membantu petani mengurangi penggunaan insektisida hingga level nol.
Kasus terakhir adalah malnutrisi di negara-negara yang kurang berkembang, di mana hampir 500.000 anak menjadi buta karena kekurangan vitamin A, dan lebih dari separuhnya meninggal setiap tahun. Para ilmuwan berupaya membantu dengan merekayasa beras emas (golden rice) yang mengandung prekursor Vitamin A, dan memperkirakan kasus kebutaan dan kematian ribuan anak-anak dapat berkurang dengan mengkonsumsinya satu cangkir per hari. Namun para aktivis yang menentang rekayasa genetika ini. Mereka menyerbu dan menghancurkan uji coba sawah. Menurut Pamela, para aktivis tanpa sadar telah menghancurkan proyek penelitian ilmiah yang penting dan menghancurkan obat-obatan yang sangat dibutuhkan anak-anak.
Prospek Rekayasa Genetika Pangan
Paparan Pamela ditutup dengan penjelasan bahwa rekayasa genetika telah digunakan secara komersial selama 40 tahun untuk anggur, keju, dan banyak lagi. Selama kurun waktu tersebut, belum ada kasus yang membahayakan kesehatan manusia atau lingkungan. Namun ia mengingatkan agar orang-orang tidak percaya padanya, karena sains bukan sistem kepercayaan. Namun ia mengajak untuk melihat bukti. Setelah 20 tahun penelitian yang cermat dan peninjauan yang ketat oleh ribuan rekan ilmuwan independen, setiap organisasi ilmiah besar di dunia menyimpulkan, bahwa proses rekayasa genetika sama amannya atau lebih aman daripada metode modifikasi genetika konvensional.
Yang paling mengkhawatirkan bagi Pamela adalah argumen keras dan informasi yang salah tentang rekayasa genetika tanaman, dan prasangka orang-orang mampu yang memiliki cukup makanan, sehingga pemikiran mereka mempengaruhi orang-orang miskin dan orang-orang yang paling membutuhkan teknologi ini tapi mungkin akan menolak karena merasa ketakutan.
Kesimpulannya, rekayasa genetika membawa manfaat yang sangat besar, terutama jika didedikasikan untuk kemanusiaan, seperti halnya membantu para petani dan anak-anak di dunia agar mereka bisa keluar dari permasalah dan kesulitan. Namun demikian, tidak mudah untuk meyakinkan banyak pihak karena rekayasa genetika adalah modifikasi gen yang melibatkan campur tangan manusia di laboratorium, bukan proses yang sebagaimana terjadi secara alamiah.
Sehingga, sebagaimana diakui oleh Pamela sendiri, diantaranya masih ditemui adanya resistensi. Faktanya memang masih banyak yang menentang karena setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda dan kepentingan masing-masing dengan latar belakang yang berbeda pula. Tapi terlepas dari besarnya manfaat yang diperoleh dari rekayasa genetika ini, hal yang paling penting dan patut diperhatikan adalah pertimbangan yang terkait etika dan norma sosial dalam memandang hakikat manusia yang sesungguhnya.