China kembali melakukan manuver di Laut Natuna Utara. Laporan terbaru sejumlah media pada awal Desember 2021 mengungkapkan bahwa China mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan kegiatan eksplorasi migas di Blok Tuna, kawasan Laut Natuna Utara (LNU), yang diklaim kedua negara milik mereka.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhammad Farhan, seperti dikutip dari Reuters (1/12/2021), mengungkapkan surat ini merupakan upaya formal pertama China untuk mempertanyakan hak kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara yang telah diakui oleh Hukum Laut Internasional.
Tak hanya soal pengeboran migas lepas pantai di Laut Natuna Utara, China juga memprotes latihan militer Garuda Shield antara Indonesia dan Amerika Serikat yang melibatkan 4.500 tentara pada Agustus 2021 lalu. Padahal latihan gabungan ini rutin digelar sejak 2009 lalu.
Kementerian Luar Negeri RI telah membalas nota diplomatik itu dengan menegaskan bahwa protes itu tidak bisa diterima karena pengeboran migas dilakukan di landasan kontinen Indonesia sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the sea/ UNCLOS) 1982. Sedangkan terkait latihan militer, Indonesia mengaku bebas melakukannya karena tidak punya pakta pertahanan dengan siapapun. (Kompas.com, 4/12/2021).
Nota protes ini tentu saja meningkatkan ketegangan antara Indonesia-China terkait klaim hak teritorial di Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan versi China. Sebelumnya, China juga memprotes langkah Indonesia saat mengubah nama Zona Ekonomi Eksklusif-nya di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada 2017 lalu.
Protes yang dilayangkan ini seolah melegitimasi berbagai pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh kapal-kapal nelayan China yang disokong kapal patroli negara itu di perairan Laut Natuna Utara sejak 2009 silam. Terakhir pada akhir Agustus 2021, kapal survei China diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia dengan kawalan kapal cost-guard China.
Klaim tumpang tindih
Persoalan Laut Natuna Utara memang cukup kompleks. Wilayah perairan ini menjadi titik panas bagi hubungan Indonesia dan beberapa negara tetangganya karena adanya klaim tumpang tindih atas hak maritim di kawasan ini. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara bersinggungan dengan ZEE Malaysia dan Vietnam dan hingga kini belum ada kesepakatan mengenai hal ini. (Fauza dkk, 2019).
Masalah semakin pelik dengan keluarnya peta sembilan garis putus-putus (Nine-Dash-Line) berbentuk U oleh China di perairan Laut China Selatan (LCS) pada 2009. Dengan peta ini, China mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah teritorialnya. Perairan ini dianggap sebagai wilayah tangkapan ikan tradisional (traditional fishing zone) nelayan China sesuai peta yang dikeluarkan pada 1947.
Klaim nine-dash-line ini membuat China menguasai hampir 90 persen dari total 3,5 juta kilometer luas LCS. Hal ini menimbulkan konflik dengan beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Brunai dan Filipina yang juga mengklaim memiliki hak kedaulatan di kawasan ini.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara juga masuk dalam klaim garis putus-putus nomor tiga dan nomor empat yang teritorinya hampir seluas Pulau Jawa. Namun, klaim China ini ditolak Indonesia karena menganggap wilayah ini sebagai hak kedaulatannya berdasarkan UNCLOS. Indonesia juga tidak merasa diri sebagai negara yang terlibat (non claimant state) dalam sengketa LCS seperti beberapa negara ASEAN lainnya.
Klaim sembilan garis putus-putus China di Laut China Selatan ini sesungguhnya telah diajukan ke Pengadilan Arabitrase Permanen di Den Haag oleh Filipina pada 2013 lalu. Tahun 2016, Pengadilan Arbitrase memutusan bahwa China tidak memiliki dasar hukum dalam klaim sembilan garis putus-putus ini. (Humphrey Wangke, 2020). Namun China tidak menerima putusan Pengadilan Arbitrase PBB ini. Padahal China merupakan salah satu negara yang menandatangani dan meratifikasi UNCLOS ini.
Beijing menolak karena mereka telah menetapkan batas laut teritorial berdasarkan peta yang dikeluarkan tahun 1947, jauh sebelum UNCLOS 1982 ditetapkan. Tak hanya itu, China juga berpandangan bahwa Pengadilan Arbitrase Internasisonal tidak memiliki yurisdiksi untuk memutuskan masalah ini sehingga apapun keputusan yang dihasilkannya tidak akan diterima, diakui dan dilaksanakannya. Dengan sikap seperti ini tidak mengherankan jika China selalu bermanuver di LCS, termasuk LNU yang menjadi wilayah ZEE Indonesia.
Kepentingan strategis
Perilaku agresif China dalam sengketa Laut China Selatan (LCS) bukanlah sesuatu yang berlebihan. Perilaku ini didasarkan pada pentingnya kawasan perairan ini bagi Negeri Tirai Bambu. LCS memiliki posisi yang sangat strategis bagi China, baik dari aspek ekonomi maupun pertahanan dan keamanan nasional.
Posisi LCS sangat strategis karena sepertiga kapal di dunia melintasi perairan ini, baik kapal barang maupun kapal tanker. Menurut Council for Foreign Relation (CFR), 50% dari total kapal tanker pengangkut minyak global melewati LCS. Karena itu, menguasai LCS berarti berarti mengontrol lalulintas kapal yang melintasi kawasan ini.
Dari sisi ekonomi, LCS menyimpan sumber daya alam yang luar biasa besar baik berupa migas, ikan maupun logam tanah jarang yang menjadi bahan baku industri hilir berteknologi tinggi. CFR memperkirakan LCS mengandung 900 triliun kaki kubik gas alam. Sementara cadangan minyak diperkirakan mencapai 7,7 miliar barel. Bahkan ada yang memperkirakan cadangan minyak di wilayah ini sebesar 1.213 miliar barel atau hampir 80% dari cadangan minyak Arab Saudi. (CNBC, 3/7/2020).
Begitu pun dengan kekayaan perikan. Menurut data Departemen Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Filipina, LCS mengandung sepertiga dari total keanekaragaman laut dunia yang berkontribusi terhadap 10 persen dari total tangkapan ikan di planet bumi. Potensi ini tentu saja penting untuk mendukung ketahanan pangan 1,7 miliar penduduk China.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso mengatakan kepentingan strategis China di LCS terkait dengan jalur perdagangan Tiongkok dan pelaksanaan Maritime Silk Road dalam Belt Road Initiative. Selain migas dan perikanan yang sangat penting untuk mendukung ketahanan pangan dan energi Tiongkok, secara militer LCS sangat strategis karena dapat dijadikan buffer zone (zona penyangga) apabila Amerika Serikat dan sekutu melakukan serangan ke daratan Tiongkok. (Laporan IOJI Agustus 2021).
Namun kepentingan strategis China ini berbenturan dengan kepentingan strategis Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU). Dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia ingin menjadi negara maritim dengan memanfaatkan sumber daya alam di lautannya yang luas bagi kemakmuran rakyat.
LNU menjadi salah satu wilayah maritim yang belum dimaksimakan potensinya oleh Indonesia selama ini. Berdasaran data Kementerian ESDM, ladang gas alam di Blok Natuna D-Alpha menyimpan cadangan gas 222 triliun Kaki Kubik. Jika diambil dan digunakan, cadangan migas ini tidak akan habis dipakai selama 30 tahun mendatang. Potensi gas yang recoverable atau yang dapat diperkirakan di Kepulauan Natuna sebesar 46 TCF (Triliun Cubic Feet) setara dengan 8,383 Miliar Barel Minyak, terbesar di Asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia. (Buletin APBN, Oktober 2021).
Potensi sumberdaya ikan laut di Natuna pun tidak kalah menggiurkan. Berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan mencapai 403.370 ton (80% dari potensi lestari). Namun hingga 2019, tingkat pemanfaatan baru 20,8 persen.
Indonesia tentu saja tidak ingin kehilangan potensi sumber daya alam yang begitu besar di LNU. Presiden Jokowi berulang kali menekankan bahwa kedaulatan Indonesia di LNU Utara adalah harga mati. Lalu, bagaimana merespons manuver China yang terus mengganggu kedaulatan Indonesia di perairan ini mengingat negara ini menjadi mitra dagang yang cukup erat. China menjadi negara investor terbesar ketiga di Indonesia pada 2021 dengan nilai US$ 1,7 miliar. China hanya kalah dari Singapura sebesar 4,7 US$ miliar dan Hongkong US$ 2,3 miliar (detik.com, 29/9/2021).
Dengan pertimbangan kerja sama ekonomi ini, Indonesia memang perlu hati-hati menyikapi persoalan LNU ini. Untuk bisa menentukan sikap secara tepat, Indonesia harus memahami alasan dari tindakan China dan pandangannya terhadap hukum internasional. China tidak pernah percaya pada kesakralan hukum internasional. Bahkan ada kepercayaan yang kuat di Cina bahwa hukum internasional dapat dihapus, khususnya hukum yang dipandang tidak adil .(Klaus Raditio, 2016).
Pandangan yang terkesan negatif terhadap hukum internasional ini merupakan efek dari kekalahan China dalam Perang Opium. Penandatanganan perjanjian Nanjing pada 1842 memaksa China menyerahkan Hongkong, Macau dan Taiwan kepada Britania Raya dan Prancis. Kekalahan dalam perang ini menimbulkan rasa penghinaan, trauma, dendam dan rasa tidak adil bagi bangsa China. Sejak saat itu, China memandang perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bilateral maupun multilateral, merefleksikan dominasi kekuatan Barat.
Seiring transformasinya menjadi raksasa ekonomi dunia, China ingin melawan dominasi dan ketidakadilan negara Barat ini. China juga mengeritik sikap negara-negara adidaya yang sering mengabaikan, mengecualian diri dan inkonsisten dalam menegakkan hukum internasional. (Klaus, 2016). Dengan alasan ini, China merasa tidak memiliki kewajiban untuk selalu patuh pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982 dalam sengketa Laut China Selatan.
Selain itu, China memiliki pandangan tersendiri tentang tatanan internasional dalam bentuk tributary system. Konsep utama di sini adalah Tianxia (semua di bawah langit). Konsep ini dekat dengan sistem kekaisaran (Klaus, 2016). Dalam Tianxia ini, China memandang dirinya sebagai kerajaan tengah/negara pusat dan negara di sekitarnya sebagai periferi. Titik tolak dari pandangan ini adalah kepercayaan bahwa China memiliki budaya dan moral yang lebih tinggi daripada negara-negara lain di sekitarnya. Sebagai negara besar, China memandang dirinya sebagai negara penerima tribute (penghormatan), sementara negara-negara kecil lain di sekitarnya sebagai pemberi tribute.
Dalam konteks sengketa di LCS, China memandang dirinya sebagai negara besar yang harus dihormati negara-negara kecil (ASEAN) di sekitarnya, termasuk Indonesia. Karena itu, China berusaha menghindari penyelesaian sengketa Laut Natuna Utara dibawa ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Bukan karena takut kalah, tetapi lebih karena berurusan dengan pengadilan bagi masyarakat dan pejabat China adalah sesuatu yang memalukan. Prinsip ini didasarkan pada pemikiran tradisional yang mengatur perilaku sosial dan internasional masyarakat China yaitu filosofi Li dan Fa. (Klaus, 2016).
Dalam pemikiran tradsional China, Li (kepantasan) adalah norma yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat berdasarkan hukum alam. Sementara Fa (hukum) adalah norma yang mengatur elemen-elemen dalam masyarakat yang merusak tatanannya. Li lebih menekankan pada moralitas, sedangkan Fa pada hukuman bagi pelanggar kriminal. Ketaatan pada Li menjamin keteraturan sosial sosial dalam masyarakat.
Konsep Li dan Fa ini juga berlaku dalam hubungan luar negeri China. Bagi mereka, berurusan dengan hukum dapat menjadi ancaman serius bagi kredibilitas dan kehormatan bangsa. Karena itu, tidak mengheranan jika China tidak akan membiarkan isu yang melibatkan negara lain diselesaikan secara internasional. China ingin menyelesaikan persoalan dengan negara lain secara bilateral, termasuk sengketa di Laut China Selatan.
Memperkuat diplomasi
Setelah memahami alam pikir China terkait hukum dan tatanan internasional, Indonesia tampaknya perlu mengedepankan diplomasi terkait pelanggaran China di Laut Natuna Utara. Sikap tegas Indonesia dalam menjawab nota diplomatik China sudah tepat. Namun Indonesia tidak perlu terburu-buru membawa masalah ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional karena ini akan merusak hubungan bilateral dengan China.
Nota diplomatik yang dikirimkan China perlu dilihat sebagai upaya China untuk menggertak Indonesia agar ditunduk kepadanya dalam konsep tributary system. China ingin menunjukkan ambisinya sebagai negara adidaya untuk mengimbangi Amerika yang selama ini menjadi kekuatan tunggal di dunia. Tentu saja Indonesia tidak boleh tunduk terhadap gertakan ini. Bagaimanapun, Indonesia adalah bangsa yang besar sekaligus pemimpin alamiah dari ASEAN karena populasi yang besar dan tertori yang luas. Sikap Presiden Jokowi juga berulang kali menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mundur sejengkal pun dari Laut Natuna Utara sudah tepat menjawab manuver China di LNU.
Indonesia harus memainkan diplomasi yang cantik dalam masalah LNU ini. Selain memperkuat diplomasi, Indonesia juga harus memperkuat kehadiran militer di LNU untuk mengirim sinyal bahwa Indonesia tidak kompromi terhadap isu kedaulatan (Klaus, 2016). Jika ada pelanggaran hukum dari para nelayan China, Indonesia harus menangkap dan membawa ke pengadilan hukum Indonesia. Para nelayan Indonesia juga harus dibekali dengan kapal-kapal yang lebih modern agar bisa menjadi garda depan menjaga Laut Natuna Utara dari kapal-kapal pencuri ikan.
Oleh : Hironimus Rama (Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta)