Labuan Bajo, suaranusantara.co-– Salah seorang penenun kain songke atau lipa songke menurut sebutan masyarakat setempat, mengakui Bapa Fidelis Pranda sebagai pencetus motif “motif mata manuk” yang merupakan motif khusus pada kain tenun adat Manggarai Barat semasa menjabat sebagai Bupati Manggarai Barat, periode 2005-2010.
Penenun ini mengisahkan, awal mula Motif mata manuk ini dicetuskan oleh Almarhum Bapa Fidelis Pranda tahun 2007 melalui pelatihan yang bertempat di Kantor Camat Lembor, Kelurahan Tangge, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat.
Kegiatan pelatihan ini melibatkan semua Desa untuk dua kecamatan kala itu yakni, Kuwus dan Lembor. Didampingi langsung oleh istri dari Almarhum Fidelis Pranda, ibu Elsye Pranda saat melaksanakan kegiatan pelatihan yang berlangsung selama -+ dua minggu.
Salah seorang warga asal Kecamatan Lembor, Maria Magdalena Carmel panggilan Mel ditemui suaranusantara.co di rumah kediamannya yang beralamat di Dempol, Desa Pong Majok, saat sedang melaksanakan aktifitasnya sebagai seorang penenun.
Ia, menceritakan cara menenun kain adat motif mata manuk seperti yang diinginkan oleh Bapa Fidelis Pranda selama mengikuti pelatihan.
“Pada hari pertama kami dilatih untuk mengenal ” maneng” (tahap awal sebelum menenun), kegiatan merentang benang untuk membentuk selembar kain adat. kemudian setelah maneng yaitu Baluk berang (merapikan benang saat memulai tenun), lalu dilanjutkan dengan Henteng (mulai menenun), tutur Mel kepada media ini, Selasa, (22/10/2024)
Kata dia (Mel)selembar kain dapat dikerjakan selama dua minggu kalau tidak terganggu oleh kesibukan lain.
“Kalau fokus, satu lembar kain itu dapat diselesaikan dalam waktu dua minggu saja. Walaupun motif ini sangat rumit untuk ditenun tetapi kalau kita tekun pasti bisa selesai pada waktunya, ungkapnya
Menurut Penenun ini, untuk membentuk selembar kain adat songke motif mata manuk membutuhkan enam jenis warna dengan biaya yang cukup mahal untuk kondisi saat itu, dan harga jual pun murah.
“Warna benang yang dibutuhkan untuk motif mata manuk adalah 6 warna yaitu hijau daun, kuning muda, kuning tua, putih dan hitam adalah warna standar. Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan bahan berupa kain dan biaya jasa pembuatannya senilai Rp. 300.000 waktu itu. Itupun tergantung pilihan warna yang disukai oleh masing-masing penenun maka biayanya pun bisa lebih dari itu. Satu lembar kain kami jual saat itu Rp. 500.000,” jelas Mel
Selain dijadikan kain adat, motif ini sangat cocok untuk dijadikan jenis produk lain.
“Selama ini kami tidak hanya tenun kain adat saja. motif ini juga cocok untuk dijadikan jas songke, topi songke, dan selendang, meskipun pola dan lama proses tenunnya berbeda. Karena waktu pelatihan dulu, Mama Elsye Pranda melatih kami untuk tau cara menenun semua jenis produk itu,” kata Mel, sembari melanjutkan pembicaraannya
“Meskipun aktivitas menenun ini tidak bisa menutupi semua kebutuhan rumah tangga karena harganya yang tidak setimpal dengan pengorbanan namun karena sudah merupakan kebiasaan maka saya tetap jalankan kegiatan ini,” imbuhnya
Pihaknya mengharapkan agar pemerintah kabupaten Manggarai Barat dapat memfasilitasi kegiatan ini sama seperti yang kami alami pada masa Almarhum Bapa Fidelis Pranda dulu.
“Pada masa Almarhum Bapa Fidelis Pranda menjabat sebagai Bupati, kami difasilitasi penuh seperti melakukan pelatihan, pengadaan bahan, pembentukan kelompok tenun, bahkan hasil tenunan kami dijual langsung oleh Pemerintah Manggarai Barat. Sehingga kami dengan semangat melakukan kegiatan ini dan hasilnya pun mencukupi untuk keperluan dalam rumah tangga,” pungkas Mel.