NTT, Suaranusantara.co – Sasando atau sasandu merupakan alat musik khas masyarakat Nusa Tenggara Timur. Penciptanya sangat kreatif dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi.
Itu sebabnya, saat alat musik tradisional lain terpinggirkan oleh alat musik modern, alat musik kuno yang sudah ada sejak abad ke-7 ini tetap lestari, bahkan mendunia.
Alat musik Sasando ini melambangkan filosofi hidup orang Rote yang berpusat pada lontar. Mereka memainkan Sasando dengan cara memetik menggunakan kedua tangan secara berlawanan. Tangan kanan memainkan chord, sedangkan tangan kiri berperan sebagai pengatur melodi dan bas. Perlu ketrampilan khusus untuk memainkan Sasando.
Kenikan Sasando
Sasando memiliki bentuk yang unik dan suara yang indah. Alat musik tradisional ini mampu menghasilkan bunyi gabungan 3 alat musik sekaligus, yaitu harpa, piano, dan gitar.
Daun lontar yang digunakan sebagai bahan resonator adalah daun yang telah cukup umur. Daun tersebut dimasak kemudian di ikat satu sama lain. Rangkaian daun-daun ini menghasilkan bentuk yang menyerupai separuh bejana yang tengahnya menggembung.
Pada bagian tengah rangkaian daun mereka memasang sebuah tabung dari bambu yang merupakan bagian inti alat musik. Berukuran panjang sekitar 40 cm dengan diameter 11 cm, pada tabung ini di pasang sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai di beri penyangga dari kayu atau bambu, yang berfungsi untuk menegangkan dan mengangkat dawai.
Bagian kepala dan kaki terbuat dari kayu. Kedua ujung dawai di ikat pada paku-paku dari kayu juga. Paku bagian atas dapat di putar-putar untuk mengatur ketegangan dawai.
Pada awalnya, dawai Sasando tidak terbuat dari senar seperti sekarang, tetapi dari tulang daun gewang yang memiliki kemiripan dengan pohon lontar. Adapula yang menyebutkan, dawai sasando terbuat dari usus musang yang dikeringkan.
Sarat dengan Makna
Bukan hanya unik, Sasando memiliki makna dan filosofi tingggi, khususnya bagi orang Rote. Pada awalnya, jumlah dawai hanya 7 atau 9. Dawai. Jumlah 7 yang ini melambangnkan siklus kehidupan manusia yang berada dalam kandungan. Masyarakat Rote meyakini bahwa seorang bayi yang telah berusia 7 bulan telah sempurna secara fisik. Sedangkan jumlah dawai 9 memiliki arti bahwa seorang anak telah siap untuk lahir ke dunia.
Penggunaan daun lontar pun terkait dengan filosofi hidup orang Rote yang sejak dulu dekat dengan pohon lontar, yang merupakan tanaman sejenis palem berbatang tunggal. Tinggi pohon bisa mencapai 30 meter, berbatang kasap, kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah. Orang Rote menyebutnya pohon tuak.
Dari pohon lontar itulah seluruh kebutuhan hidup orang Rote terpenuhi. Masyarakat menggunakan batang pohon lontar untuk tiang untuk membangun rumah. Daun lontar yang mampu menahan udara Rote yang panas untuk atap. Sehingga rumah terasa dingin. Sementara pelepah lontar untuk pagar halaman.