Sumbar, Suaranusantara.co – Sikerei atau Kerei adalah sebutan masyarakat Suku Mentawai bagi orang yang di percaya memiliki kekuatan supranatural dan kedekatan dengan roh leluhur. Salah satu kemampuan utamanya adalah di bidang pengobatan.
Rakyat Mentawai percaya, seseorang sakit karena jiwanya sedang meninggalkan tubuhnya. Untuk mengobatinya perlu seorang yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Bagi masyarakat Mentawai, Sikerei di anggap memiliki kemampuan untuk memanggil kembali jiwa tersebut.
Ahli pengobatan ini memiliki tugas utama sebagai mediator antara manusia dengan dunia arwah para leluhur sehingga terjadi hubungan yang selaras antar keduanya.
Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah masyarakat menetap di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Sebagian masyarakat Suku Mentawai masih mempertahankan cara hidup tradisional yang bergantung sepenuhnya pada alam sekitar.
Kehidupan tradisional Suku Mentawai tidak bisa lepas dari kepercayaan terhadap roh leluhur. Mereka menjaga hubungan antara manusia dan roh para leluhur dengan baik agar tercipta keselarasan.
Sikerei memulai proses ritual pengobatan (pasilagek) dengan menghaluskan dedaunan untuk ramuan obat dan merapalkan mantra. Rapalan mantra merupakan komunikasi Sikerei dengan para leluhur (ukkui) yang membantunya dalam ritual pengobatan itu.
Kemudian melanjutkannya dengan ritual dengan tarian mistis, yaitu Turuk. Sama seperti rapalan mantra, tarian tersebut juga merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur.
Tugas Berat
Peran Sikerei terbilang penting dalam kehidupan masyarakat Suku Mentawai. Selain ahli dalam pengobatan, ia juga mendapat kepercayaan menjadi pimpinan dalam setiap upacara adat, mulai dari upacara kelahiran, pergi ke ladang, berburu ke hutan, hingga upacara kematian.
Tidak mudah untuk menjadi ahli pengobatan tradisional ini, karena harus melewati beberapa tahapan bertahun-tahun. Seorang calon akan diuji secara mental maupun fisik, mulai dari kemampuan meramu obat-obatan hingga meditasi untuk menemui roh leluhur (Pagetasabbau).
Dalam strata sosial, Sikerei menduduki posisi paling atas dan warga menghormatinya. Namun demikian ia tidak bisa bebas melakukan apa saja yang ia inginkan.
Ia juga harus mematuhi berbagai pantangan, seperti larangan makan pakis, babi, bilou (sejenis monyet khas Mentawai), belut, tupai, dan kura-kura.
Larangan termasuk tidak boleh menggoda istri orang lain. dan harus mendahulukan kepentingan kaum di atas dirinya. Ketika ada panggilan untuk menyembuhkan orang sakit, ia harus rela meninggalkan kegiatan di uma (rumah adat) maupun di ladang.
Beratnya syarat dan adanya berbagai pantangan membuat tidak semua orang mampu dan mau menjadi Sikerei. Oleh karena itu, biasanya Sikerei di tunjuk berdasarkan keturunan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa menjadi Sikerei merupakan sebuah panggilan. Mereka yang menjadi Sikerei bukan karena mereka mengiinginkannya, tetapi karena ditunjuk oleh Taikamanua. Petunjuk itu mereka dapatkan melalui mimpi. Dalam kepercayaan Suku Mentawai, Taikamanua adalah penguasa tertinggi alam semesta.
Sebagai syarat pengangkatan Sikerei, mereka yang ditunjuk haruslah memotong babi dan ayam sebagai persembahan kepada arwah leluhur. Orang yang terpanggil menjadi Sikerei akan memiliki kemampuan untuk berbicara dan memahami bahasa roh dari para leluhur.
Pergeseran Budaya
Namun seiring waktu, peran Sikerei pun semakin terpinggirkan. Budaya tradisional semakin terdesak oleh budaya modern. Kepercayaan asli Suku Mentawai yang bernama Arat Sabulungan juga semakin surut dengan masuknya agama-agama Samawi. Secara perlahan, budaya tradisional Mentawai mulai berubah, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Anak-anak muda Mentawai lebih senang merantau ke luar daerah daripada tetap di dalam suku dan hidup dengan segala tradisinya. Kalangan muda yang sudah mengecap pendidikan, memilih bekerja dan tinggal di ibu kota kecamatan Muara Siberut atau ibu kota Kabupaten Tuapejat.
Bergesernya budaya Suku Mentawai dan semakin langkanya anak muda yang tinggal di dalam suku membuat keberadaan Sikerei semakin langka. Kini sosoknya hanya bisa dijumpai di Pulau Siberut, terutama di Kecamatan Siberut Selatan. Sedangkan di tempat lain, seperti di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, Sikerei hampir tidak ditemukan lagi.