Jakarta, Suaranusantara.co – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut upaya memberantas praktik pencucian uang di negara ini masih minim. Hal itu karena masih ada keterbatasan regulasi yang bisa merampas aset atau uang dari pelaku praktik pencucian uang.
“Tingkat keberhasilan kita untuk memberantas tindak pidana pencucian uang dan perekonomian secara umum, masih jauh dari menggembirakan. Dan mungkin bisa di katakan sangat minimal,”. Demikian kata Kepala Pusat PPATK Dian Ediana Rae dalam diskusi bertema “RUU Pemberantasan Aset Tindak Pidana” di Jakarta, Rabu, 7 April 2021.
Ia menjelaskan gangguan terhadap perekonomian negara ini dari tindak pidana perekonomian seperti pencuaian uang sangat luar biasa. Berbagai analisis dari lembaga internasional menyebutkan potensi kerugian negara Indonesia yang ditimbulkan oleh gangguan perekonomian mencapai 20-40 persen dari produk domestik bruto (gross domestic product/GDP).
Pemikiran Yang Mendorong PPATK
“Jadi ini salah satu pemikiran yang mendorong PPATK sejak 2003 untuk menginisiasi salah satu RUU yang kita anggap sebagai breakthrough (pemecehan, Red), dalam bentuk paradigma hukum. Di dalam konteks cara kita untuk melakukan approach terhadap kriminalitas, khususnya kriminal tindak pidana perekonomian, maupun di dalam konteks kita bagaimana mendorong perampasan aset. Jadi RUU yang kita ajukan adalah RUU mengenai perampasan aset hasil tindak pidana,” jelas Edi.
Menurutnya, salah satu yang di amati PPATK selama ini adalah faktor efek jera terhadap pelaku pencucian uang tidak ada. Karena itu, dalam RUU Perampasan Aset d itekankan hukuman badan atau mengejar pelaku.
“Mengejar-ngejar penjahat ekonomi itu menjadi prioritas, sehingga mereka mungkin kebanyakan pasang badan. Kemudian di penjara sekitar 5 tahun atau 3 tahun, setelah itu selesai keluar asetnya masih banyak yang tersisa. Karena memang bisa di katakan approach kita masih dalam the state against the prison againts criminals. Bukan the state against the asset,” tutur Edi.
Dia menegaskan pemberantasan tindakan pencucian uang masih jauh panggang dari api. Kalau ada 100 kasus tindak pidana ekonomi, bisa-bisa cuma 10 yang di ikuti dengan tindak pidana pencucian uang. Akibatnya, hasil yang di dapatkan pun sangat marjinal. Recovery asset yang menjadi salah satu sasaran Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
“PPATK itu sudah menyerahkan hasil analisis dan hasil pemeriksaan mungkin mencapai jumlah 5.000 ke seluruh aparat penegak hukum. Bahkan mungkin yang di tangani masih jumlah ratusan. Masih jauh panggang dari api. Ini persoalan yang semakin mendorong tekad kami untuk RUU mengenai perampasan aset supaya bisa di lakukan,” tutup Edi.