Juara Tanjakan
Setelah kondisi kembali normal, kami melanjutkan perjalanan ke curug. Turunan cukup curam. Tetapi jalan setapak lumayan bagus. Di sini saya menjadi juaranya.

Tidak ada lagi rasa takut. Sebagai anak kampung, sejak kecil saya terbiasa dengan medan seperti ini. Bahkan lebih buruk. Berjalan di hutan yang lebat sambil pikul kayu bakar sudah biasa. Kerap juga berjalan ketika hujan sangat lebat plus jalanan yang licin. Masih juga digigit lintah darat yang tanpa sadar sudah menempel di kaki atau tangan.
Maka berhadapan dengan kondisi jalan seperti itu, enteng buat saya. Saya bisa berlari. Hanya saja begitu saya berlari, anak-anak teriak. “Tunggu dong.” Giliran saya membalas mereka, “Makanya harus belajar di jalan jelek.” Saya tertawa puas. Seolah terbalaskan.
Saya lalu menyesuaikan diri. Jalan pelan-pelan hingga ke curug. Di sana melihat air terjun dari jembatan kecil. Bisa turun juga ke sungai. Hanya saja waktu itu kami tidak cebur karena tidak bawa pakain ganti. Akhirnya hanya berfoto ria sebelum kembali.
Balik dari air terjun, ada rumah tempat banyak jajanan. Di sana bisa duduk-duduk sejenak menikmati mie rebus atau kopi saset. Ada juga jagung bakar. Untuk kembali ke ujung jembatan, harus menanjak. Lagi-lagi saya menjadi juaranya. Ada juga ojek untuk membawa wisatawan yang tidak kuat mendaki.
Ketika masih sekolah dasar, saya sudah menaklukkan medan lebih jelek dari itu. Malahan sambil memikul hasil bumi seperti jagung, padi, atau saat musim kering pikul kopi. Namun lagi-lagi, saya harus solider dengan anak-anak yang lahir di kota. Mereka tidak merasakan bergaul dan menyatu dengan alam yang keras seperti ketika saya masih kecil. Jadi jalan harus pelan-pelan.
Perjalanan Pulang
Setelah banyak kali berhenti, tiba juga di Jembatan Gantung. O iya, sebelum ke Jembatan Gantung, waktu itu sedang di bangun penginapan di tengah hutan. Rumah-rumah dari kayu. Ketika itu saya sempat tanya tarif per malam untuk beberapa rumah yang sudah jadi. Seharga hotel berbintang. Tidak tahu kondisinya pada pandemi seperti ini.
Perjalanan pulang melewati Jembatan Gantung tidak sedramatis seperti saat berangkat tadi. Semuanya menjadi lebih enteng. Bahkan sudah bisa sambil bercanda dengan anak-anak. Meski tetap saja tegang. Apalagi kalau ada orang melintas dengan cepat dan enteng.
Seusai membunuh rasa takut di Jembatan Gantung kami kembali ke parkiran. Seharusnya masih ke Situ Gunung. Tetapi karena sudah sore, kami urungkan niat. Kami memilih kembali ke Kota Sukabumi dan menginap di sebuah hotel. Malam hari sempat menjajal kuliner Sunda di kota tersebut.
Keesokan harinya, setelah check out, kami mampir mencicipi kopi di sebuah kedai. Ketika itu masih sepi. Intensinya sekalian belajar mencicipi kopi, studi rasa, karena kami juga menekuni usaha rintisan, jualan kopi. Setelah ngopi dan fresh, kami kembali ke Jakarta dan tiba dengan selamat di rumah Bintaro, Tangerang Selatan.
Mudah-mudahan pandemi ini cepat berlalu sehingga bisa kembali ke sana. Menikati Situ Gunung yang tertunda, menjajal lagi Jembatan Gantung di mana saya membunuh rasa takut, dan mengerayangi lagi curug-curugnya yang molek.