Abraham mengemukakan, salah satu dampak dari ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Sebagai contoh, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah.
Kemudian ada pembangunan fasilitas publik seperti telpon, listrik, air, selokan. Proyek-proyek ini hampir tiap tahun juga di bongkar karena ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang.
Hal lain adalah adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan ini akan melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal.
“Jika tata ruang sudah di buat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” ujar Abraham.
Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini juga melihat ketiadaan RT/RW dan RDTR menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Penetapan lokasi juga lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.
“Tidak ada studi kelayakan apakah satu lokasi itu memenuhi syarat untuk bangun sebuah pabrik atau tidak. Atau studi kelayakan sebuah lokasi layak dijadikan kompleks perumahan, mall, pabrik, dan sebagainya. Semua bergantung transaksi dari pengusaha ke penguasa. Itu karena tidak ada tata ruang,” jelas Abraham.
Biaya Besar
Menurutnya, kondisi ini menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang di keluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.
“Ini yang membuat mahal biaya investasi. Karena biaya di tetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus ijin usaha,” tegas Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT.
Dia memberi contoh Singapura, tata ruang secara nasional sudah dibuat. Tata ruang nasional itu kemudian dijabarkan menjadi RDTR hingga ke sudut-sudut wilayah Singapura. Baik penguasa maupun pengusaha, tidak akan melanggar tata ruang yang sudah ada. Tinggal bangun kota berdasarkan peta tata ruang yang sudah ditetapkan.
“Kita di sini tidak jelas. Satu lokasi bisa dibangun pusat perkantoran, hotel, mall, kampus, bahkan pabrik. Tidak peduli bagaimana daya dukung dan daya tampung lokasi itu. Pokoknya numpuk satu tempat,” tegas Abraham.
Dia juga melihat penetapan RTRW antara tingkat pusat dan daerah belum sinkron. Masih banyak tumpang-tindih RTRW di tingkat pusat dan daerah. Kondisi itu menghambat eksekusi sebuah kebijakan karena saling tarik-menarik kepentingan, baik pusat maupun daerah.
“Investor butuh kepastian hukum. Kalau terjadi tumpang-tindih RTRW, investor jadi ragu melakukan investasi karena tidak ada kepastian hukum,” kata Abraham.