Oleh: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Nenek Minah mengambil 3 biji buah kakao di perkebunan milik korporasi PT Rumpun Sari Antan. Mandor perkebunan mengetahui perbuatannya ini. Meski telah mengembalikan biji kakao dan meminta maaf, tapi pihak perusahaan tetap melaporkan Nenek Minah ke pihak kepolisian.
Berdasarkan berkas perkara Nomor No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt, petani Minah harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Perkara ini menarik perhatian publik karena adanya benturan antara nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat.
Kasus hukum yang menjerat Nenek Minah menarik perhatian masyarakat, LSM dan kalangan praktisi hukum yang menganalisa dengan menggunakan Paradigma Positivisme Hukum. Dakwaan dalam persidangan ini adalah Pasal 362 KUHP. Hakim menghadirkan saksi-saksi, alat bukti dan keterangan Terdakwa. Ketika semua unsur Pasal 362 terpenuhi, maka hakim memutuskan Nenek Minah bersalah dan harus menerima hukuman.
Paradigma Positivisme selalu menekankan obyektivitas. Paradigma ini memayungi aliran Legal Positivism, yang menjelaskan tidak adanya hukum di luar Undang-Undang. Jadi hukum identik dengan Undang-Undang. Sehingga walau bagaimanapun juga, hukum harus ditegakkan dengan ketentuan keadilan sebagaimana ketentuan Undang-Undang.
Hukum harus terpisah dari nilai kemanusiaan dan moral demi kepastian hukum. Inilah sebabnya mengapa Nenek Minah tetap harus menjalani hukuman terlepas dari besar kecilnya nilai kerugian PT Rumpun Sari Antan. Karena selaku Terdakwa, terbukti secara sah melakukan pencurian sebagaimana rumusan dalam Pasal 362 KUHP.
Analisa Kasus
Tanpa pendampingan dari kuasa hukum saat persidangan, Nenek Minah ditahan di rumah tahanan sambil menunggu proses persidangan. Sedangkan berdasarkan alat bukti yang sah, 3 orang saksi (mandor perkebunan) bernama Jawali, Tarno dan Rajiwan, menjelaskan kepada hakim bahwa benar melihat dengan jelas Nenek Minah mengambil 3 biji buah kakao dengan pisau dan tersimpan dalam karung plastik.
Nenek Minah mengakui perbuatannya mengambil 3 biji buah kako untuk ditanam di lahannya, karena tidak punya uang untuk membeli bibit. Terdakwa juga mengakui perbuatan tersebut adalah pertama kali ia lakukan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Persidangan berlanjut pada tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, yang mendakwanya dengan perbuatan tindak pidana pencurian pasal 362 KUHP, yakni:
“Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikinya sendiri secara melawan hukum,diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”
Ketua Majelis Hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, menunjukkan sisi kemanusiaan dengan memberikan keringanan putusan atas sanksi terhadap Nenk Minah. Hal ini hakim menunjukkan kapasitas hakim untuk memenuhi Pasal 5 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam perkara Nenek Minah, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani. Putusan ini telah mencerminkan prinsip kemanusiaan. hakim saat memutuskan perkara. Dari putusan ini juga terlihat jiwa hakim, yang bahkan meneteskan air mata tanpa menyembunyikan perasaannya saat membacakan putusan.
Positivisme – Pemisahan Antara Aturan Hukum dan Moral
Proses pelimpahan berkas perkara dalam kasus Nenek Minah hingga menjalani proses persidangan, mengutamakan prinsip-prinsip kepastian hukum. Penegak hukum melimpahkan kasus ini melalui pendekatan judicial bukan pendekatan kemanusiaan dan rasa keadilan masyarakat.
Dosen Filsafat Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Dr. Heriyomo Tardjono, menjelaskan bahwa hukum pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme.
Hal ini secara eksplisit tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat memidanakan seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya (asas legalitas). Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada Undang-Undang yang mengaturnya.
Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan ialah yang tertuang dalam hukum positif. Selama hukum positif tidak mengaturnya, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa meminta pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana.
Demi kepastian dan penegakan hukum Indonesia di masa kini dan mendatang, sudah selayaknya untuk menjaga konsistensi putusan hakim. Dalam hal ini antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lainnya dalam kasus serupa yang telah menjadi putusan hakim.
Jadi ketika kasus serupa terjadi tapi ada perbedaan yang besar antara putusan pengadilan yang satu dengan lainnya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda, tapi yang satu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka kemungkinan inilah yang harus menjadi pertimbangan, guna mempertahankan kepastian hukum. @Annaversary