Labuan Bajo, suaranusantara.co – Arus kemajuan digitalisasi selain membawa dampak positif mendukung prestasi belajar siswa, juga dapat menjadi sarana yang menjerumuskan pelajar pada praktek radikalisme yang dapat membahayakan keberlangsungan masa depan para pelajar salah satunya pelajar di SMAS St. Familia Wae Nakeng, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat.
Mencegah timbulnya paham intoleran, radikalisme, ekstremisme, terorisme, serta penyimpangan perilaku pada pelajar sebagai akibat dari perkembangan digital, Tim Pencegahan Satgaswil NTT Densus 88 Anti Teror Polri menggelar sosialisasi empat pilar pertahanan diri pelajar pada Sabtu (08/11/2025)
Dihadapan Ratusan siswa SMAS Sta. Familia Wae Nakeng yang berjejer rapih dengan posisi berdiri tegak lurus saat mengikuti upacara bendera Tim Pencegahan Satgaswil NTT Densus 88 Anti Teror Polri menyampaikan pesan kebangsaan kepada para pelajar.
Kegiatan ini mengusung tema “Membangun Ketahanan Diri Remaja dari Paparan Paham Intoleran, Radikalisme, Ekstremisme, Terorisme (IRET), dan Penyimpangan Seksual di Era Digital melalui Empat Pilar Ketahanan Diri dan Empat Pilar Kebangsaan”
Selain pimpinan lembaga pendidikan SMAS Sta. Familia, RD. Daniel Abdineri Ngabut, S.Fil, para guru serta 890 peserta didik juga turut hadiri Kapolsek Lembor Ipda Vinsensius Hardi Bagus dan Babinkamtibmas Bripka Adrianus Donbosko.
Dalam amanatnya, Koordinator Tim Pencegahan Satgaswil NTT, IPDA Silvester Guntur, menegaskan bahwa kehadiran Densus 88 di sekolah bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengedukasi dan melindungi generasi muda.
“Kami hadir agar siswa memahami bahaya paham radikal sejak dini,” ujarnya.
Ia menambahkan, kegiatan ini bertujuan mencegah keterlibatan remaja dalam ajaran IRET, membantu guru membentuk karakter siswa, menumbuhkan kesadaran hukum dan disiplin, serta mengedukasi tentang bahaya media sosial dan kejahatan digital.
“Media sosial bisa menjadi ruang berbahaya jika tidak digunakan dengan bijak. Banyak narasi intoleran dan ajakan kekerasan yang menyusup dalam bentuk hiburan,” tegasnya.
Ia mengingatkan pentingnya literasi digital agar para pelajar tidak mudah terprovokasi dan mampu memilah informasi secara benar.
Sementara itu, kepala Sekolah RD. Daniel Abdineri Ngabut,S.Fil., menyampaikan apresiasi kepada Densus 88 dan pihak kepolisian atas kegiatan yang dinilainya sangat relevan dengan tantangan remaja masa kini.
“Intoleransi tidak selalu soal agama. Ia bisa muncul dari sikap menutup diri dan enggan mendengar orang lain. Dari sinilah bibit radikalisme tumbuh,” katanya.
Dari tempat yang sama, Kapolsek Lembor Ipda Vinsensius Hardi Bagus menekankan pentingnya peran pelajar dalam menjaga keamanan lingkungan sekolah dan masyarakat. Ia menyinggung kasus ledakan di Jakarta yang dilakukan oleh remaja korban bullying sebagai pelajaran penting agar siswa menjauhi kekerasan.
“Bullying bukan hal sepele. Pelakunya bisa dijerat hukum, bahkan anak di bawah umur pun bisa dijatuhi hukuman, hanya dengan pengurangan sepertiga masa pidana,” ujarnya.
Kapolsek juga mengingatkan bahwa meski kasus kenakalan remaja di wilayah Lembor tidak signifikan, namun kasus pelecehan seksual tergolong tinggi.
“Tahun ini saja sudah ada tiga kasus pelecehan seksual. Ini peringatan bagi kita semua agar lebih peduli pada lingkungan sekitar,” tambahnya.
Dalam sesi materi, IPDA Silvester Guntur, Koordinator Tim Pencegahan Satgaswil NTT Densus 88, memaparkan data nasional yang menunjukkan potensi radikalisme di Indonesia mencapai 11,7 persen, sedangkan di Nusa Tenggara Timur berada di angka 6,8 persen. Menurutnya, angka tersebut cukup mengkhawatirkan sehingga diperlukan sosialisasi dan pendidikan berkelanjutan di kalangan pelajar.
Ia pun menjelaskan bahwa sejak 2020, Densus 88 mengubah pendekatan dari penegakan hukum menjadi pencegahan berbasis edukasi.
“Pendekatan keras tidak menurunkan angka terorisme secara signifikan. Maka kami ubah strategi dengan membangun kesadaran masyarakat. Hasilnya, dua tahun terakhir Indonesia mencapai zero attack, tidak ada serangan teror yang terjadi di dalam negeri,” jelasnya.
Dalam pemaparannya, IPDA Silvester juga memperkenalkan konsep IRET (Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme) sebagai tahapan berbahaya yang terdiri dari indoktrinasi, radikalisasi, eksekusi, hingga aksi teror.
Dengan memahami tahapan ini, para siswa diharapkan mampu mengenali tanda-tanda penyebaran paham ekstrem di lingkungan mereka.
Tim Pencegahan juga menyoroti data Cyber Patrol 2025 yang mencatat 184.000 konten digital bermuatan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Dari jumlah tersebut, 32,83 persen merupakan konten intoleran dan 31,20 persen bersifat radikal.
Tak hanya itu, IPDA Silvester turut menyinggung fenomena penyimpangan perilaku remaja di dunia maya, mulai dari pornografi, sexting, hingga tantangan berbahaya di media sosial, yang disebutnya sebagai “perang psikologis modern” terhadap moral generasi muda.
“Sekali kalian buka ponsel, jutaan pesan masuk. Tidak semua pesan itu untuk kebaikan kalian. Karena itu, penting punya filter moral dan nasionalisme yang kuat,” ujarnya penuh penekanan.
Ia pun menekankan pentingnya penguatan Empat Pilar Ketahanan Diri dan Empat Pilar Kebangsaan sebagai fondasi nilai untuk menangkal berbagai paham destruktif di tengah tantangan global.
Dalam sesi tanya jawab, suasana berlangsung hangat dan interaktif. Seorang siswi bernama Afni bertanya tentang maraknya konten yang menjelekkan agama lain di media sosial.
Narasumber menjawab dengan tegas namun bijak, “Negara hadir menegakkan hukum, tapi pencegahan dimulai dari diri sendiri. Jangan jadi pelaku, dan tetap jaga sikap saling menghormati.”
Pertanyaan lain datang dari Celsi yang menyinggung isu penculikan anak di media sosial. Tim menjelaskan bahwa sebagian besar kabar itu tidak benar dan hanya bertujuan menciptakan kepanikan.
“Banyak isu sengaja dibuat untuk menggoyahkan stabilitas masyarakat. Karena itu, verifikasi informasi sangat penting sebelum membagikannya,” jelasnya.
Sementara Asti, siswi lainnya, bertanya mengenai sanksi hukum bagi pelaku intoleransi dan terorisme. Narasumber menjelaskan bahwa undang-undang telah mengatur sanksi berat, namun negara tetap membuka ruang deradikalisasi dan restorative justice agar pelaku dapat kembali ke masyarakat dengan pemahaman yang benar.
Menutup kegiatan, Kepala Sekolah mengajak seluruh siswa menjadikan pembekalan ini sebagai momentum memperkuat semangat toleransi dan kebhinekaan.
“Bangunlah Indonesia dari hati yang terbuka dan pikiran yang jernih. Gunakan ilmu dan teknologi untuk membangun, bukan menghancurkan,” pesannya.
Kegiatan berakhir dengan sesi foto bersama di halaman sekolah, disertai senyum ceria dan semangat kebangsaan yang terasa kuat. Para siswa tampak antusias dan aktif sepanjang acara, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap isu-isu kebangsaan dan keamanan.
Melalui kegiatan ini, nilai-nilai nasionalisme dan kesadaran ideologis generasi muda semakin diteguhkan sehingga para pelajar dapat menjadi generasi emas yang tangguh dan kokoh menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman
Disamping itu, Para pelajar juga diingatkan bahwa menjaga Indonesia tetap damai bukan hanya dengan menolak kekerasan, tetapi juga dengan berpikir kritis, bersikap toleran, dan menggunakan media sosial secara bijak.
Sebab masa depan bangsa ada di tangan generasi muda yang berpikiran sehat, berhati moderat, dan berjiwa cinta tanah air.










































































