Oleh: Dr. Heriyono Tardjono. Pengajar Pasca Sarjana. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia
Bekasi, Suaranusantara.co, Rara Anggraeni adalah karya Damar Shashangka pertama kali yang saya baca. Walaupun mungkin penulisnya tidak mau dibanding-bandingkan, tapi vibes yang muncul ketika membaca karya Damar Shashangka ini adalah seperti membaca karya-karya S.H. Mintardja dan Langit Kresna Hariadi, mungkin karena latar belakang kisah yang diangkat sama-sama memangkat sejarah penguasa-penguasa lama Nusantara.
Buku ini secara apik menuturkan rentetan kisah dan tragedi tedak turun wangsa Airlangga, yang secara sekilas menceritakan bagaimana Airlangga muda harus tunggang langgang untuk menyelamatkan diri dari amukan Aji Wurawari dari Gelang-gelang di hari pernikahannya.
Kemudian bagaimana Airlangga di dampingi penderek kinasihnya Sang Narotama jlajah desa milankori. Tujuan Airlangga adalah untuk menyatukan sisa-sisa kekuatan, dan rakyat Medhang yang tercerai berai. Ini terjadi pasca sang mertua Prabu Dhamawangsa Teguh yang merupakan Bhatara Ri Medhang tewas dalam penyerbuan Aji Wurawari.
Di lanjut dengan keputusan Airlangga untuk memecah menjadi dua bumi Medang, Panjalu yang berpusat di Dhaha Kadiri dan Jenggala yang berpusat di Kahuripan. Panjalu di serahkan kepada putra putri Airlangga dari Prameswari Dyah Mahajiwatma. Jenggala di serahkan kepada putra putri Airlangga dari Bini Aji atau Selir Utama yang bernama Dyah Mandanu, seorang putri dari Bhramana yang di segani pada waktu itu. Setelah itu masuk ke inti buku yang menuturkan kisah perjalanan Dyah Candra Kirana dan Raden Kudarwisrengga.
Mengenal Sejarah
Sebagai orang yang pernah tinggal cukup lama di Kediri, maka nama Candra Kirana , Dewi Sekartaji dan juga Dewi Kili Suci bukanlah nama yang asing di telinga. Karena nama-nama tersebut tersemat di beberapa tempat ikonik di Kota Kediri.
Membaca buku ini kita seperti membaca sejarah Nusantara pada rentang akhir abad ke 9 dan awal abad ke 10 Nusantara.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa jangan belajar sejarah dari Novel, tapi tidak ada salahnya berusaha mengenal sejarah dari novel. Bukankah sebagian generasi tua kita dulu juga mengenal sejarah dan kisah bijak orang lama bukan dari literatur utama. Tapi dari pagelaran wayang purwa yang merupakan adaptasi dari kronik tua Ramayana dan Mahabharata. Bukankah generasi di atas kita banyak mengenal sejarah Nusantara dari acara saur sepuh dan tutur tinular. Drama yang di siarkan dari radio secara teratur pada zaman itu. Oleh karena itu, membaca sejarah melalui novel-novel pilihan bisa menjadi alternatif untuk langkah awal mengenal sejarah bangsa.
Aksara Pinggir, 17 Okt 2022 / 21 RA 1444