Jakarta, Suaranusantara.co – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus menilai, kerumunan massa saat kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Sumba dan Maumere pekan ini tidak bisa disamakan dengan kasus kerumunan massa Rizieq Shihab November 2020.
Menurut Petrus, penilaian seperti itu sangat tidak adil, tidak jujur, dan tidak pada tempatnya.
“Ini tentu saja tidak fair, karena massa yang berkerumun pada saat Presiden Jokowi melintas di sepanjang jalan menuju ke Bendungan Napun Gete adalah massa yang spontan, tidak terorganisir, tidak dalam satu asosiasi dan tidak konstan,” ujar Petrus dalam rilis pers yang diterima Suaranusantara.co, Jumat 26 Februari 2021.
Spontanitas massa itu pun hanya terjadi pada dua titik lokasi, yaitu warga perkampungan di sepanjang jalan yang dilalui Presiden Jokowi, tanpa direkayasa atau dikerahkan, apalagi dikoordinasi. Terbukti dari jumlah massa yang berkerumun dalam jumlah kecil, berpakaian apa adanya, tanpa persiapan sapaan secara adat sebagaimana lazimnya orang Maumere menyambut kedatangan tamu negara.
“Pada kerumunan masa penjemput Rizieq Shihab, mereka adalah masa yang diorganisir, terasosiasi dalam FPI dan datang dari luar (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung dll), sebagaimana terbukti dari penggunaan atribut FPI dll, menggunakan bis luar kota, berkerumun di Bandara Soekarno-Hatta dan di Petamburan dalam jumlah sampai puluhan ribu massa,” kata Petrus.
Terkait tuntutan sejumlah pihak agar persoalan kerumunan massa Presiden Jokowi di Maumere dan Sumba diproses hukum, Petrus berpendapat bahwa itu hak setiap orang untuk menuntut keadilan.
“Publik sudh cerdas dan bisa membedakan, mana peristiwa yang masuk dalam kualifikasi tindak pidana Kekarantinaan Kesehatan dan mana yang tidak,” tegas Petrus lagi.
Sejumlah pihak menilai, kerumunanan massa di Maumere pada 23 Februari 2021 tidak beda dengan kerumunan massa saat penjemputan Rizieq Shihab di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada 10 November 2020 dan saat resepsi pernikahan putrinya di Petamburan, 11 November 2020. Mereka pun menuntut agar kerumunanan massa Jokowi ini juga diproses secara hukum.
Pertanggungjawaban
Namun menurut Petrus, Rizieq Shihab dimintai pertanggungjawaban secara pidana oleh kepolisian karena Rizieq Shihab mengundang ribuan simpatisan untuk hadir dalam resepsi pernikahan putrinya, sehingga menimbulkan kerumunan masa besar. Ini masuk dalam kualifikasi melanggar UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Beda dengan apa yang terjadi dengan kerumunan masa di Maumere 23 Februari 2021. Pihak Protokol Istana dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka justru melarang warga Maumere untuk menghadiri peresmian Bendungan Napun Gete.
Buktinya, tidak ada konsentrasi massa saat Jokowi tiba di Bandara Frans Seda, Waioti, hingga Bendungan Napun Gete, Maumere, termasuk tidak ada kerumunan massa di sepanjang jalan sepanjang 50 Km, kecuali secara sporadis di dua titik berbeda.
“Artinya perisitiwa kerumunan masa spontan di Maumere ini suatu accident atau setidak-tidaknya hanya sebuah incident kecil, yang hanya cukup memerlukan klarifikasi dari Pemda Sikka (Bupati dan Kapolres Sikka) selaku tuan rumah, agar permasalahannya menjadi jelas dan pihak-pihak yang berpandangan lain tidak lagi menggunakan kacamata kuda dalam melihat dan menggeneralisir kasus ini dengan kasus yang dihadapi Rizieq Shihab,” jelas Petrus.