Jakarta, Suaranusantara.co – Pengamat Politik, Rocky Gerung menilai rencana Presiden Jokowi bakal revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sekedar tes ombak.
“Beliau sekedar tes ombak, seberapa serius tanggapan publik. Tapi saya anggap publik gak akan layani itu. Karena berkali-kali ombaknya ombak palsu,” ujarnya dalam akun YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 17 Februari 2021.
Rock mengatakan, bertahun-tahun selama pemerintahan Jokowi kita hidup dalam gelombang ketidakpercayaan karena yang di ucapkan lain.
“Jadi kalau beliau tiba-tiba punya ide untuk membatalkan ITE, ya itu juga gelombang baru yang mau di ciptakan untuk menutupi gelombang sebelumnya yang juga sama, yaitu harapan palsu,” katanya.
Menurutnya, UU ITE cuma alat dari istana untuk mengendalikan oposisi.
“Jadi poinnya bukan pada UU ITE. Tetapi pada ada tidaknya oposisi. Kan percuma UU ITE di revisi tetapi oposisi tidak di akui oleh pemerintah,” tukas Rocky.
Cara Berpikir Presdien
Rocky mengatakan, Presiden Jokowi sendiri yang menyebutkan demokrasi kita tidak memerlukan oposisi karena kita pancasilais.
“Cara berpikir presiden udah final bahwa ia tidak menghendaki oposisi. Oleh karena itu, kalau ada oposisi, UU ITE ya bisa di abaikan. Nanti pakai UU lain yang lebih berat, pidana, macam-macam kan,” jelasnya.
Rocky juga mengingatkan agar dalam soal politik, Presiden Jokowi harus memperbaiki cara melangkah di dalam track demokrasi. Bukan dengan mensponsori dinasti dan Omnibs Law.
“Soal-soal semacam itu sebetulnya membiarkan korupsi di lingkarkan dalamnya. Jadi itu yang harusnya di perbaiki. Bukan sekedar ucapin UU ITE lalu semuanya simsalabim selesai,” tegasnya.
Ia melanjutkan, yang lebih mendasar, yaitu cara Presiden Jokowi, cara istana secara keseluruhan menghormati oposisi. Oposisi harus di aktifkan.
“Jadi kalau di katakan silahkan kita revisi UU ITE tetapi oposisi sudah di serap ke istana. Lalu siapa yang mau bicara? Kan gak ada kan? Gitulah dimensinya,” katanya.
Rocky pun menambahkan, kalau kekuasaan tidak paham tentang demokrasi percuma dan tidak ada gunanya. Karena nanti juga intelijen cari cara untuk memuaskan Presiden agar oposisi tidak ada.
“Jadi presiden mesti datang dengan pidato barunya bahwa saya salah selama ini karena menganggap oposisi itu buruk. Oleh karena itu, saya revisi cara saya berpikir. Bukan UU-nya yang di revisi, cara beliau berpikir tentang demokrasi,” tandasnya.
Ia menegaskan bahwa yang mesti di revisi adalah isi kepala Presiden sebagai kepala negara.
“Tentu saya mau sebutin sebagai kepala negara. Karena beliau salah mengartikan demokrasi. Itu soalnya. Kan selalu mau mengkooptasi, mau memasukkan orang kritis dalam kekuasaan. Nah, itu yang mestinya di revisi. Jadi UU ITE itu cuma bungkus aja dari isi politik yang anti oposisi,” pungkasnya.