Kupang, Suaranusantara.co – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati Manggarai Timur Agas Andreas di gugat oleh dua (2) orang warga asal Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur.
Kedua penggugat itu ialah Isfridus Sota dan Bonevasius Yudent. Penggugat melakukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang atas Viktor Bungtilu dan Agas Andreas.
Isfridus Sofa mengatakan, Gubernur Viktor Bungtilu dan Bupati Agas di gugat lantaran menerbitkan keputusan tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral bukan logam kepada PT. Istindo Mitra Manggarai.
“Karena (Gubernur Viktor Bungtilu dan Bupati Agas, red) menerbitkan keputusan tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral nukan logam kepada PT. Istindo Mitra Manggarai,” ujar Isfridus dalam keterangannya, Kamis 22 April 2021.
Kemudian, kata Viktor Bungtilu, terkait keputusan tentang izin lingkungan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan pertambangan batu Gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang di prakarsai oleh PT. Istindo Mitra Manggarai, tanggal 23 November 2020.
Gugatan TUN tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara: 5/G/2021/PTUN-KPG di PTUN Kupang dan di wakili oleh Pengacara Marthen Jenarut, Vitalis Jenarus, Valens Dulmin, Anselmus Malofiks, dan Elias Sumardi Dabur.
Kerugian
Isfridus menjelaskan, kepentingan mereka dalam perkara ini terkait dengan adanya kepentingan yang di rugikan oleh keputusan TUN yang di terbitkan para tergugat.
Isfridus dan Bonevasius adalah anggota masyarakat yang tak terpisahkan dari masyarakat adat Lengko Lolok yang memiliki lahan dan hunian di areal rencana penambangan itu.
Di atas tanah mereka, PT. Istindo Mitra Manggarai mulai merencanakan kegiatan penambangan batu Gamping.
Isfridus melanjutkan, rencana tersebut tanpa persetujuan dari pihaknya, dan karenanya dapat mengakibatkan ia kehilangan hak atas tanah, kehilangan mata pencaharian dan penghidupan, kehilangan mata air dan hak untuk menikmati masa depan serta keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya.
Menurutnya, tanah dan segala yang tumbuh di atas areal tersebut, serta hunian miliknya termasuk kampung adat (rumah gendang) masyarakat adat Lengko Lolok masuk dalam wilayah IUP Operasi Produksi Batu Gamping PT. Istindo.
Isfridus menilai kegiatan operasional penambangan itu berpotensi menimbulkan kerugian baginya seperti rusaknya lahan, hilangnya kampung halaman, hilangnya ruang hidup, lahan pertanian dan perkebunan serta hilangnya masa depan anak cucunya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa wilayah IUP Produksi batu Gamping PT. Istindo mencakup seluruh ruang hidupnya termasuk semua masyarakat adat Lengko Lolok.
Masyarakat Adat
Isfridus menegaskan, ketika ruang hidupnya di hancurkan, maka eksistensinya sebagai masyarakat adat Lengko Lolok akan musnah.
“Jika eksistensi dan ruang hidup musnah, maka identitas kultural pun akan musnah yaitu kampung sebagai tempat hunian (golo lonto/beo ka’eng), tanah sebagai lahan kelola untuk hidup (uma duat), halaman kampung sebagai tempat untuk ekspresi kreativitas hidup (natas labar), altar untuk perayaan kehidupan (compang takung), mata air untuk pemenuhan kebutuhan hidup (wae teku),” tegas dia.
Lebih lanjut, Ia mengemukakan, pada 26 Maret 2020, Tju Bin Kuan mewakili PT. Istindo Mitra Manggarai dan Zhao Jiang Hao mewakili PT. Semen Singa Merah NTT menandatangani kesepakatan awal dengan salah seorang warga bernama Damianus Demas yang mengklaim dirinya pemilik atau penguasa dari bidang-bidang tanah hak ulayat (masyarakat adat) yang merugikan pihaknya.
Kemudian, dalam wilayah IUP Produksi batu Gamping PT. Istindo Mitra Manggarai, ada tanah yang masih menjadi tanah ulayat. Tua Adat, katanya, tidak memiliki kewenangan untuk mengklaim. Bahwa dia untuk dan atas nama masyarakat adat dapat melakukan penyerahan hak atas tanah pada pihak lain. Tanpa melalui proses musyawarah untuk mufakat bersama masyarakat adat.
Alasan Gugatan
Kuasa Hukum penggugat mengatakan, bahwa warga tidak pernah memberikan persetujuan dan atau melepaskan hak kepemilikan atas lahan atau tanah pertanian, bangunan rumah sebagai tempat tinggal kepada pihak manapun terkait usaha pertambangan.
Kuasa Hukum menilai tindakan para tergugat telah mengabaikan dan atau melanggar haknya sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf b Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 10 huruf b:
“Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 vat (2) di laksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU VIII/2010, dimana dalam amarnya memutuskan:
– Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat…masyarakat…” Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
– Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat… masyarakat…” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
Selain hal di atas, dengan di terbitkan “Objek Sengketa I” dan “Objek Sengketa II”, maka akan menimbulkan kerugian bagi warga berupa putusnya hubungan hukum antara warga dengan lahan miliknya. Yang tanpa persetujuannya telah di jadikan lokasi objek pertambangan. Sebagaimana di maksud dalam kedua objek gugatan tersebut. Dan menimbulkan kerugian berupa hilangnya akses untuk mengelolah tanah serta hilangnya penghasilan atas tanah.
Kerugian dari Aspek Lingkungan Hidup
Hal lain menurut Kuasa Hukum, yaitu berpotensi mengalami kerugian dari aspek lingkungan hidup. Yaitu kerugian akibat kehidupan untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat. Karena ternyata objek gugatan a quo di terbitkan di atas wilayah ecoregion karst dan cekungan air tanah. Yang sudah di tetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah yang harus di lindungi dan di pertahankan. Demi menjaga keberlangsungan lingkungan hidup yang sehat.
Kuasa Hukum menerangkan, keputusan para tergugat juga melanggar ketentuan sejumlah Undang-undang, di antaranya: Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (“UU No. 41/2009”), UU Tentang Lingkungan Hidup, sejumlah Peraturan Pemerintah, termasuk Peratutan Daerah Kabupaten Manggarai Timur tentang Perlindungan Mata Air dan Peraturan Gubernur Provinsi NTT tentang moratorium tambang.
Selain menabrak ketentuan UU, keputusan para tergugat juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain: asas partisipasi masyarakat.
Asas partisipasi masyarakat, jelas Kuasa Hukum, sangat krusial. Karena menyangkut dampak sosial dan lingkungan masyarakat sekitar pasca di terbitkannya keputusan TUN. Dalam konteks ini instrumen perizinan lingkungan hidup,. Yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan izin lingkungan.
Kuasa Hukum menegaskan, dokumen lingkungan tersebut mulai dari awal harus ada partisipasi masyarakat,. Agar dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat sekitar. Apalagi memiliki lahan di lokasi yang akan di tambang, termasuk multiplier effect dari adanya suatu kegiatan usaha.
Kuasa Hukum menambahkan, agenda lanjutan setelah terdaftar di Kepaniteraan PTUN Kupang adalah pemeriksaan sengketa. Yang di mulai dengan pembacaan isi gugatan dan jawaban tergugat.