Labuan Bajo, suaranusantara.co –Tingginya kesibukan pejabat ATR/BPN melaksanakan tugas keluar kota menyebabkan memproses dokumen pengajuan sertifikat tanah masyarakat berlarut-larut dan tak kunjung pasti. Menyikapi hal ini, aktivis akan turun ke jalan mendesak Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat untuk mencopot pejabat yang malas menjalankan tugasnya.
Hal ini dikatakannya Mengingat sulitnya menemui Kepala kantor BPN Manggarai Barat. Setiap kali warga menanyakan keberadaannya, jawaban yang muncul selalu sama: “Lagi di luar kota.” ungkap salah seorang aktivis di Labuan Bajo
Bukan sekali, bukan dua kali, melainkan hampir setiap kali masyarakat datang menanyakan hak mereka. Ironisnya, bukan hanya sang kepala, para kepala seksi (kasie) pun ikut-ikutan lebih sering berlagak sibuk di luar daerah.
“Rakyat diabaikan, pelayanan mati suri. Kalau begini, kantor BPN lebih cocok jadi museum kosong ketimbang lembaga pelayanan publik!” geram Alex seorang warga Labuan Bajo.
Fenomena pejabat BPN yang kerap menghilang ini memunculkan tanda tanya besar: benarkah mereka sibuk dengan urusan dinas, ataukah hanya alasan untuk menghindari tanggung jawab? Publik menduga, di balik lambannya pelayanan, ada praktik-praktik tak sehat yang sengaja ditutupi.
Aktivis sekaligus pemerhati sosial di Labuan Bajo, Sirilus Ladur, menilai praktik ini sudah di luar batas.
“Ini keterlaluan. Hak rakyat dipermainkan. Sertifikat bukan barang mainan. Kalau BPN Manggarai Barat tidak bisa bekerja, rakyat harus turun ke jalan menuntut evaluasi dan mencopot pejabat-pejabat pemalas itu!” tegas Sirilus.
Baik, berikut saya ramu ulang menjadi pernyataan kritis yang padat, tegas, dan layak dimuat di media:
Ada sejumlah hal menurutnya yang mesti dikritisi dari kinerja BPN Manggarai Barat. Pertama, kehadiran teknologi seharusnya mempercepat proses atau kinerja, bukan justru memperlambat pelayanan. Kedua, Standar Operasional Prosedur (SOP) pengurusan sertifikat harus jelas: berapa lama waktu yang dibutuhkan? Ketiga, jangan ada tebang pilih antara kepentingan korporasi dengan masyarakat kecil.
Keempat, BPN harus proaktif memberikan solusi bila masyarakat menemui kendala dalam pengurusan sertifikat.
“Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, BPN telah menjadi salah satu biang kegaduhan pelayanan publik di Labuan Bajo,” tegasnya.
Menurut Sirilus, kelambanan ini bukan sekadar masalah birokrasi, melainkan ancaman serius.
“Manggarai Barat punya sejarah panjang konflik agraria. Kalau sertifikat diperlambat dengan alasan konyol seperti ini, konflik bisa meledak kapan saja. Dan yang bertanggung jawab adalah BPN!” ujarnya.
Masyarakat kini menuntut Menteri ATR/BPN tidak tinggal diam. Mereka meminta tim khusus segera turun tangan, membongkar semua praktik di BPN Manggarai Barat, sekaligus mencopot pejabat yang terbukti mengabaikan rakyat.
Jika tuntutan ini tak digubris, gelombang kemarahan hanya tinggal menunggu waktu. Labuan Bajo bisa menjadi saksi lahirnya protes besar rakyat terhadap BPN sebuah perlawanan terhadap birokrasi “pura-pura sibuk” dan pejabat yang lebih doyan jalan-jalan ketimbang melayani rakyat kecil.