Kenangan di Maracana
Pada Piala Dunia 2014, saya ke Maracana. Pertengahan Juni. Tapi tidak masuk ke dalam stadion. Hasrat ingin menyaksikan laga Argentina versus Bosnia Herzegovina di fase grup pada 15 Juni tak terwujud. Harga tiket yang dijual di sekitar stadion terlalu mahal. Anggaran jauh dari cukup.
Begitu juga dengan laga Spanyol melawan Cile 18 Juni. Padahal, dua jadwal itu sudah ditargetkan nonton langsung di stadion. Alhasil, kedua laga ini hanya ditonton lewat televisi kecil bersama pendukung-pendukung Argentina dan Cile yang juga tidak punya tiket masuk ke dalam stadion. Minimal, bisa merasakan lebih dekat aura gegap gempita Piala Dunia bersama mereka.
Pada hari lain selama di Rio de Janeiro, saya menyempatkan diri jogging mengelilingi stadion tersebut. Mengikuti warga setempat. Juga bercakap menggunakan satu dua kata Bahasa Portugis dibantu bahasa isyarat dengan pemulung yang mengais rejeki dari sampah yang berserakan di sekitar stadion selama pesta sepakbola tertinggi sejagat. Ya, beberapa bagian wilayah sekitar Stadion Maracana, dan di banyak bagian lain kota itu, masih kumuh atau bahasa setempat disebut, favela, seperti Jakarta.
Stadion Maracana yang mulai dibangun 1948 itu adalah salah satu ikon Kota Rio de Janeiro. Ikon lainnya adalah Pantai Copacabana. Ini sebuah pantai dengan bibir pantai mahaluas.