Maluku, Suaranusantara.co – Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan tradisi unik yang kontroversial karena ektrem. Masyarakat mengasosiasikan Baku Pukul Manyapu ini dengan perjuangan para tokoh di Maluku untuk mengusir penjajah.
Pelaksanaan tradisi ini adalah dalam rangka mengenang perjuangan Kapitan Tulukabessy, beserta pasukannya melawan penjajahan VOC Belanda dalam perang Kapahaha (1643-1646 M).
Setelah Telukabessy wafat, Belanda membebaskan tawanan Kapahaha pada tanggal 27 Oktober 1646 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beberapa tokoh ditahan di Makassar dan Batavia. Sisanya, pulang ke daerah asal.
Tidak Ada Dendam, Tapi Untuk Mengenang Pejuang Maluku
Seusai melakukan pukul sapu, mereka saling berpelukan sambil berikrar untuk saling mengingat dan bertemu kembali setiap 7 Syawal. Tidak ada dendam di antara para peserta. Atraksi ini justru mempererat tali persaudaraan di antara pemuda dari dua desa yang berbeda.
Dulunya, pada perpisahan para pejuang , terjadi pukul sapu secara spontan sebagai ungkapan rasa sedih. Perih di badan karena lecutan sapu menjadi perlambang kerasnya perjuangan dan pengorbanan jiwa raga. Kerasnya genggaman serta kuatnya pukulan menjadi perlambang tekad kuat untuk tetap menolak semua bentuk penjajahan dan kerja sama dengan Belanda.

Minyak Berkhasiat, Mengenang Keberhasialn
Saat tradisi berlangsung, mereka memulai atraksi setelah mendengar aba-aba dari suara suling atau peluit. Para peserta yaitu 2 kelompok pemuda masing-masing berjumlah 20 orang, akan saling memukul secara bergantian. Bekas sabetan lidi akan terlihat jelas pada tubuh mereka.
Setelah atraksi selesai, luka-luka akan di obati dengan getah pohon jarak. Ada juga yang menggunakan olesan minyak Nyualaing Matehu (minyak Mamala) yang mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.i
Minyak ini bermula dari kisah seorang imam masjid, bernama Imam Tuny, berniat mendirikan sebuah masjid, tetapi terkendala untuk menyambungkan kayu. Lalu sang imam berdoa meminta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta.
Lewat mimpi, beliau mendapat petunjuk menyambung kayu-kayu dengan menggunakan minyak “Nyualaing Matetu” atau minyak “Tasala” untuk membasahi potongan kain putih guna menyambung kayu-kayu.
Lalu masyarakat merayakan keberhasilan ini setiap tanggal 7 Syawal dalam penanggalan kalender Islam, atau 7 hari setelah Lebaran. Jadi atraksi ini dulunya juga merupakan perayaan keberhasilan pembangunan sebuah masjid tanpa menggunakan paku di Mamala.