Ruteng, Suaranusantara.co – Gereja Katolik Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluarkan seruan menolak pembangunan proyek Geotermal di wilayah enam Keuskupan.
Seruan tersebut disampaikan para Uskup melalui Surat Gembala Pra Paskah yang dihasilkan melalui Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja Ende.
Sidang tahunan para Uskup ini digelar di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere, pada 10 hingga 13 Maret 2025.
Surat gembala tersebut ditandatangani langsung oleh Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD (Uskup Agung Ende), Mgr. Silvester San (Uskup Denpasar), Mgr. Fransiskus Kopong Kung (Uskup Larantuka), Mgr. Siprianus Hormat (Uskup Ruteng), Mgr. Edwaldus Martinus Sedu (Uskup Maumere) dan Mgr. Maksimus Regus (Uskup Labuan Bajo).
Dalam seruannya, para Uskup bersepakat menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi geothermal yang dinilai merusak sumber daya ekosistem di wilayah Flores dan Lembata.
“Sebagai gembala, kami mengajak umat menyikapi tantangan sosial yang mengancam martabat kehidupan”, seru para Uskup.
Para Uskup dalam seruannya juga mengupayakan pembangunan berkelanjutan yang senantiasa memperhatikan kesejahteraan sosial dan kelestarian alam.
Para Uskup berpandangan, pulau-pulau kecil di wilayah Flores dengan ekosistem yang rapuh sangat berisiko dengan eksploitasi proyek Geotermal yang tidak bijaksana.
Eksploitasi tidak bijaksana yang dimaksud adalah lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan yang terancam mengalami kerusakan.
“Kita telah menyaksikan sejumlah persoalan yang muncul dari (rencana) eksplorasi dan eksploitasi energi geothermal”, lanjut para Uskup.
Para Uskup juga menilai, energi geothermal bukanlah pilihan yang tepat untuk wilayah Flores dan Lembata, dengan alasan topografi yang dipenuhi gunung dan bukit juga sumber mata air permukaan yang sangat terbatas.
Pilihan eksploitatif ini juga dinilai bertabrakan dengan arah utama pembangunan yang menjadikan wilayah Flores sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.
Seruan para Uskup juga berpedoman pada ensiklik Laudato Si yang digaungkan Paus Fransiskus yang menekankan keterkaitan krisis sosial dan lingkungan.
Para Uskup juga mendorong penggunaan energi ramah lingkungan, seperti energi surya, dengan tanggung jawab dan visi keberlanjutan.
“Gereja akan terlibat dalam aksi nyata, seperti kampanye lingkungan, advokasi kebijakan publik, dan gerakan sosial untuk keadilan”, seruan para Uskup dalam surat gembalanya.
Gelombang Demonstrasi Warga
Polemik penolakan Geotermal sudah masif digaungkan oleh masyarakat setelah Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan pulau Flores, NTT sebagai Pulau Panas Bumi pada tanggal 19 Juni 2017.
Penetapan itu disahkan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017.
Ancaman adanya proyek panas bumi ini mendapat penolakan dari masyarakat. Serangkaian aksi demonstrasi dilakukan.
Terbaru, lima elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) melakukan demontrasi di kantor DPRD dan Kantor Bupati Kabupaten Ngada, Rabu (11/3/2025).
Warga menuntut agar pemboran geothermal di Mataloko segera dihentikan karena telah merusak lingkungan dan ekosistem alam.
Aksi demonstrasi juga dilakukan di Kabupaten Manggarai. Warga bersama Serikat Pemuda NTT yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Poco Leok melakukan aksi demonstrasi pada Senin (3/3/2025).
Aliansi tersebut mendesak Bupati Manggarai mencabut SK penetapan lokasi. Mereka juga meminta bank KfW menghentikan pendanaan dan seluruh aktivitas proyek di Poco Leok.
Tidak hanya di daerah, aksi penolakan juga berlangsung secara nasional di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Flores Tolak Geotermal menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (12/3/2025).
Mereka meminta Kementrian ESDM melakukan audit dan mencabut SK penetapan Flores sebagai pulau panas bumi.
Mereka juga menyebutkan proyek geotermal Daratei Mataloko sebagai contoh nyata kegagalan, yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan.
Proyek tersebut telah menyebabkan kerusakan parah pada lahan pertanian, pencemaran sumber mata air, serta hilangnya habitat bagi berbagai makhluk hidup. Hubungan sosial masyarakat adat dengan lingkungan budaya mereka pun turut terkoyak.
“Keberadaan lumpur dari dalam yang keluar tanpa henti meninggalkan rongga pada lempengan cincin api Flores, yang tentunya menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat,” ujar salah satu peserta aksi Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia.
Penulis: Patris Agat