Jakarta, Suaranusantara-Menanggapi aksi teror yang terjadi di Makasar dan Mabes Polri, Rektor Universitas Hasanudin (Unhas), Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu menyampaikan pentingnya partisipasi komunitas dalam penanganan terorisme.
Hal ini disampaikan Prof. Dwia saat menjadi pemateri dalam diskusi daring Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD) bertajuk “De-Radikalisasi VS Re-Radikalisasi: Mengurai Benang Kusut Penanganan Terorisme”, pada Senin, 12 April 2021
“Terorisme saat ini cukup berkembang. Pada tahun 2019, sarang terorisme hanya terjadi pada 10 provinsi di Indonesia. Hal ini mengalami perkembangan, dimana untuk tahun 2021 terjadi di 19 provinsi. Penyebab terjadinya terorisme dipengaruhi oleh lingkungan, agama, ekonomi, sosial, politik dan hukum,” tegas Prof Dwia.
Guru Besar Sosiologi Konflik Unhas itu juga menjelaskan terjadi orientasi yang lebih sporadis dimana tahun 2000 sampai 2010 aksi teror lebih berfokus pada objek simbol-simbol Barat seperti Bali dan Hotel JW Marriot. Sementara aksi teror kali ini berubah pada objek yang lebih luas yakni masyarakat sipil.
Lalu, terjadi pola perubahan perilaku dari terorisme berjejaring menjadi terorisme independent.
“Untuk pencegahan dan penanggulangan perlu dilakukan penanganan terstruktur oleh BNPT dan aparat keamanan. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat maupun komunitas dengan pendekatan menyentuh dan simpatik serta beberapa hal lainnya yang dapat dilakukan,” ungkapnya.
Saat bersamaan, Pendiri Institute Sintuwu dan Sekolah Perdamaian Perempuan Poso, Lian Gogali. menyampaikan pandangannya tentang konflik yang terjadi di Poso.
Menurut Lian, perlu adanya ruang bertemu yang lebih luas sebagai wadah untuk saling mengurai prasangka sosial yang terbentuk pada masyarakat poso.
“Karena, ketika hal ini tidak diurai secara mendalam akan semakin meningkatkan potensi konflik di daerah. Sehingga penting untuk membangun social trust dan kolaborasi untuk membangun solidaritas dalam kehidupan masyarakat,” jelas Lian.
Sementara, UNDP Consulant dan Peneliti Intelijen dan Keamanan, Beni Sukadis mengemukakan pendapatnya mengenai “Deradikalisasi Vs Reradikalisasi: Evaluasi Program Deradikalisasi BNPT”.
“Radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan adanya perubahan sosial dan politik dengan kekerasan. Untuk Indonesia sendiri, masalah radikalisme dan terorisme masih ancaman menengah, belum menjadi ancaman utama. Namun, harus tetap dilakukan berbagai upaya pencegahan,” ungkap Beni.
Ia menambahkan, dalam penanganan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki peran besar untuk menyusun dan menetapkan kebijakan strategis dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme.
“Sejak tahun 2012, banyak upaya pencegahan terorisme yang dilakukan oleh BNPT salah satunya melalui deradikalisme. Strategi ini ditujukan pada kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan seperti penangkalan, rehabilitasi hingga reduksi,” tambahnya.