Jakarta, Suaranusantara.co – Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mendukung memasukkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) di Papua sebagai organisasi teroris. Alasannya, mereka melakukan aksinya seperti terorisme berupa teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil.
“Maka mereka adalah teroris, sama halnya dengan kelompok di Poso, Bima, Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Jadi jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana,” kata Azis di Jakarta, Selasa, 23 Maret 2021.
Ia menyebut terorisme yang berakar dari separatisme, persis seperti yang terjadi di Thailand Selatan. Maka dalam melawan kelompok tersebut harus menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme.
“Pemerintah perlu mendefinisikan KKB, KKSB, OPM, dan TNPPB sebagai Organisasi Teroris sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.
Menurutnya, pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Alasannya, begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api dan senjata tajam dalam aksinya.
Definisi
Bahkan, lanjut Azis, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention). Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional.
Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata non internasional atau di dalam sebuah negara. Dalam Pasal 1 di nyatakan angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando.
“Ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa,” tegas Azis.
Sementara Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar. Namun tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurut mereka terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi.
“Penyelesaian OPM sebaiknya di lakukan komprehensif, secara taktis-operasional. TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang,” tutup Azis.