Bogor, Suaranusantara.co – Vipassana berarti memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, dan tentang bagaimana hukum alam bekerja. Dengan memahaminya, maka kita dapat belajar menerapkan teknik ini dalam kehidupan sehari-hari. Praktik Vipassana merupakan seni menghadapi keadaan dengan tetap menjaga ketenang-seimbangan (equanimity) dan kesadaran (awareness).

The Noble Silence
Guru Vipassana, S.N. Goenka (Goenka-Ji), mengajarkan teknik ini yang diawali dengan memperhatikan pernafasan. Terdengar mudah, namun begitu praktik, maka saat itulah kita mulai menyadari banyaknya godaan pikiran yang terus tarik-menarik, dan pada saat yang sama, meditator harus bekerja keras menjaga ketenang-seimbangan.
Selama bermeditasi 10 hari, semua meditator mempraktikkan noble silence atau berdiam diri mulia. Ya, para meditator tidak boleh berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Para siswa ini tinggal di dormitory masing-masing, dan terpisah antara laki-laki dengan perempuan.
Vipassana merupakan ‘the art of living‘ yang merupakan salah satu teknik meditasi paling kuno di India. Meditasi ini awalnya diajarkan di India lebih dari 2500 tahun yang lalu sebagai universal remedy untuk mengobati ‘penyakit-penyakit’ universal. Pusat meditasi ini ada di Indonesia, tepatnya di Pusat Meditasi Vipassana Dhamma Java.

Teknik Anapana
Lewat praktik, meditator belajar bahwa Vipassana bukanlah suatu ritus atau ritual berdasarkan keyakinan yang membuta, bukan pula suatu entertainment intelektual. Selain itu, teknik Vipassana bukan pula sebagai suatu pelarian dari berbagai cobaan dan masalah kehidupan sehari-hari.
Meditasi pada hari pertama hingga hari ke tiga adalah ajaran teknik Anapana, yakni memperhatikan nafas. Hanya itu? Ya, hanya memperhatikan nafas apa adanya. Tarikan dan hembusan nafas yang tenang. Arahan Goenka-Ji terdengar lewat speaker, yang narasinya secara singkat menyampaikan “Hanya perhatikan nafas apa adanya. Jangan mencoba mengubahnya. Jika keluar hanya dari lubang kiri, atau lubang kanan, atau keduanya. Perhatikan saja. Apa adanya. Apa adanya“.
Semudah itu? Well, jika belum pernah mencobanya sendiri tentu kita tidak tahu bagaimana proses ini berjalan. Memperhatikan nafas dan mengamati sensasi di lubang hidung dan di atas bibir secara obyektif. Namun percayalah, ini bukan tantangan yang mudah!
Karena pikiran berlari kemana-mana, ke masa lalu, ke masa depan, lompat lagi ke masa lalu, lompat lagi ke masa depan. Instruksi audio dari Guru, S.N Goenka, membimbing meditator, untuk tetap tenang dan seimbang dengan tetap mengamati pernafasan di sekitar hidung, diatas bibir bagian atas.
Anapana bertujuan untuk melatih fokus pada bagian kecil yaitu di dalam hidung dan di bawah hidung atau di atas bibir. Merasakan sensasi yang terdapat di situ. Sensasi apa adanya. Mengamati kenyataan bahwa kita berada di saat ini sekarang, bukan sedang berada dalam pikiran-pikiran kita atau imajinasi-imajinasi kita yang sedang jauh bepergian melayang kemana-mana.
Teknik Vipassana
Pada hari ke empat, meditator mulai belajar teknik Vipassana, dengan mengamati sensasi di seluruh tubuh dari atas ubun-ubun hingga ujung jari kaki. Urutannya bebas tetapi harus selalu sama setiap kali meditasi. Hal ini untuk menghindari hilangnya fokus. Pengamatan sensasi secara obyektif selama berulang-ulang ini berlangsung dari hari ke empat sampai hari ke sepuluh.
Pada beberapa bagian tubuh, tentu ada bagian yang sangat mudah dirasakan sensasinya, tapi ada pula yang sangat sulit bahkan tidak terasa apa-apa. S.N Goenka berpesan agar para siswa tidak mengharapkan sensasi, tapi berjalan sebagaimana adanya.
Meditasi ini terkadang bisa menjadi menjengkelkan dan membingungkan. Hal ini terjadi karena pikiran kita sendiri. Dan kuncinya, hanya mengamati saja. Sebab jika tidak, meditasi akan menimbulkan ketidaknyamanan, menyedihkan, menyakitkan, atau mendorong keinginan untuk pulang, karena sulit sekali untuk berkonsentrasi sebab terbawa oleh pikiran-pikiran.
Jika sudah sangat sulit berkonsentrasi, S.N Goenka mengajarkan agar meditator kembali mengamati nafas untuk membuat pikiran menjadi fokus lagi, baru kemudian kembali mengamati sensasi pada tubuh.

Selama berada di lingkungan meditasi, para peserta mendengarkan arahan dari Goenka-Ji untuk belajar lebih menghargai dan mensyukuri hal-hal sederhana, yang selama ini mungkin luput dari perhatian dan tidak sadari akan keberadaannya.
Lingkungan alam yang asri dan tenang, hawa yang sejuk, hewan-hewan kecil dengan suara yang alami, bisikan dedaunan dan nyanyian bambu yang kini menjadi perhatian. Sebab selama berada bermeditasi sepuluh hari peserta tidak boleh membawa gadget. Really?
Namun percayalah, bagi beberapa orang, menjalani kehidupan bermeditasi dalam keheningan tanpa gadget itu justru sangat melegakan. Waktu istirahat di sela-sela jadwal benar-benar efektif karena tidak sibuk membalas chat atau mengurusi pekerjaan. Tapi kegiatan ini bukanlah liburan semata – melainkan kerja keras menghadapi diri sendiri.
Hening Tanpa Gadget
Semua keindahan ternyata sangat terasa saat kita berdiam diri yang mulia ketika meditator tidak berinteraksi satu dengan lain. Saat matahari pagi menyembulkan cahaya, sampai ketika kehangatan matahari bersinar di siang hari, semua meditator hanya diam. Demikian pula saat istirahat makan, hingga sore menjelang malam hari, tidak ada yang berkomunikasi, bahkan tetap berdiam diri saat hujan mengguyur.
Semua meditator harus menghadapi dan melawan kegelisahan masing-masing dengan tetap berdiam diri. Jika kaum perempuan biasanya senang ‘curhat’ kali ini tidak ada kesempatan untuk menuangkan isi hati dan perasaan mereka. Teknik berdiam diri inilah yang berguna untuk menentramkan pikiran meditator.
Hanya Asisten Guru dan Dhamma Worker (DW) yang diperkenankan berkomunikasi dengan meditator yang bertanya ini dan itu, atau meminta ini dan itu. Karena memahami makna dhamma dan parami, Asisten Guru dan DW dengan sangat sabar melayani semua meditator dan memastikan semua nyaman dengan situasi dan kondisi di tempat meditasi.
Metta Bhavana
Tantangan berakhir ketika pada hari ke sepuluh, para siswa belajar teknik terakhir yakni Metta Bhavana, yang merupakan cara untuk merasakan getaran vibrasi cinta kasih tanpa pamrih dalam tubuh dan kemudian memancarkannya keluar melalui vibrasi-vibrasi dari tubuh.
Sebagaimana arahan sang Guru, teknik ini mengajarkan para siswa untuk merasakan vibrasi cinta kasih jika kita sedang dalam keadaan tenang dan seimbang. Teknik ini dapat diteruskan untuk penerapan setiap kali setelah selesai meditasi Vipassana di rumah masing-masing.

Congratulation!
Setelah sesi teknik Metta Bhavana ini, seluruh siswa boleh berbicara kembali dengan sesama praktisi meditator. Saat itulah suasana pecah. Semua peserta yang berhasil melampaui tantangan 10 hari terlihat tersenyum dengan wajah yang berbinar-binar ceria dan berceloteh tentang pengalaman masing-masing dalam menghadapi tentangan selama bermeditasi. Pondasi dari latihan ini adalah sīla (moralitas) sebagai suatu dasar bagi pengembangan samādhi (konsentrasi pikiran) dan pemurnian pikiran dicapai melalui paññā (kebijaksanaan).
Dibutuhkan modal tekad yang kuat, ketabahan, kesabaran, dan tidak mengharapkan apa-apa dari Vipassana ini. Karena saat bermeditasi, masing-masing siswa mengurusi hanya diri sendiri dan pikiran sendiri. Jadi apabila pikiran berkelana kemana-mana, hanya kita sendiri yang harus mampu menguasainya.(Red/CBN)