Jakarta, Suaranusantara.co – Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng mendesak pemerintah agar ada pemangkasan dana untuk pendidikan kedinasan. Pasalnya, anggaran pendidikan kedinasan sangat besar mencapai Rp 104,5 triliun per tahun atau sebesar 39 persen dari anggaran pendidikan di APBN. Namun yang menikmati hanya 13.000 orang.
Sementara untuk pendidikan formal dari tingkat dasar, menengah hingga pendidikan tinggi hanya mendapatkan anggaran Rp 91,2 trilun per tahun atau 22 persen dari dana alokasi APBN. Namun yang mendapatkan sangat besar mencapai 62 juta siswa.
“Pendidikan dasar sampai menengah itu Rp 33,5 triliun. Pendidikan tinggi Rp 57,7 triliun. Totalnya Rp 91,2 triliun. Berapa orang yang menikmati? Kurang lebih 62 juta siswa. Sementara pendidikan kedinasan Rp 104,5 triliun. Siapa yang menikmati? Hanya 13.000 orang. Ini yang saya namakan pendidikan tidak berkeadilan,” kata Mekeng dalam rapat kerja Komisi XI dengan
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (3/7) malam.
Politisi senior Partai Golkar ini mencatat alokasi anggaran pendidikan dari APBN terus meningkat. Tahun 2020 tercatat sebesar Rp 542,82 triliun, sementara anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai Rp 724,2 triliun.
Namun ia merasa heran, anggaran pendidikan yang meningkat setiap tahun tidak dirasakan oleh seluruh rakyat. Hal itu karena sasaran penerimanya kurang tepat.
“Yang pendidikan kedinasan dikecilin aja dulu. Kasih yang formal supaya tahun 2035-2045, kita bisa mencapai Indonesia emas dan bukan Indonesia cemas,” ujar Mekeng.
Dia mengaku permintaan mengurangi anggaran untuk sekolah kedinasan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2022, Pasal 80, Ayat 2. Dalam aturan itu dinyatakan anggaran pendidikan kedinasan tidak boleh menggunakan anggaran pendidikan yang berasal dari APBN tetapi menggunakan anggaran yang telah dialokasikan oleh APBN lewat Kementerian atau Lembaga terkait.
Menurut Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR ini, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar berupa bonus demografi, dengan mayoritas penduduk berada pada usia produktif. Kondisi ini bisa menjadi peluang emas. Namun bisa menjadi bencana jika pendidikan yang diterima generasi muda tidak merata, tidak berkualitas, dan tidak adil.
Faktanya, banyak anak-anak bangsa, terutama di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (3T), masih mengalami kesenjangan akses terhadap pendidikan yang layak. Ketimpangan mutu antar daerah, antar kelompok sosial, bahkan antar jenis pendidikan masih sangat terasa.
Di sisi lain, pemerataan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan juga belum tuntas. Masih banyak sekolah rusak, ruang kelas tidak layak, dan keterbatasan fasilitas di berbagai daerah. Guru di daerah terpencil mengalami keterlambatan gaji, kurangnya pelatihan, bahkan ketidakpastian status kerja.
“Kesejahteraan dan kapasitas guru adalah kunci pendidikan bermutu. Jika guru terus dikesampingkan, kita tidak akan pernah mencapai pendidikan yang merata dan berkualitas,” tegas anggota DPR dari Dapil NTT ini.
Dia meminta seluruh pemangku kepentingan untuk meninjau ulang proporsi anggaran pendidikan yang timpang. Caranya anggaran untuk pendidikan kedinasan harus dikurangi, sementara untuk pendidikan formal ditingkatkan.
Dia juga mendorong pemerataan pembangunan sarana pendidikan, meningkatkan kesejahteraan dan penguatan kapasitas guru.
Mantan Ketua Komisi XI DPR RI ini meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada Komisi XI untuk pendidikan. Hal itu agar dana pendidikan dapat disalurkan ke daerah-daerah.
“Dulu waktu saya jadi Ketua Komisi XI, ada namanya DAK penugasan. Kasih DAK penugasan kepada kami di bidang pendidikan. Dan itu mekanismenya APBN, supaya kita bisa tahu karena kami-kami ini sekarang kerjanya ke daerah. Ke sekolah-sekolah,” tutup Mekeng.